Jumat, 12 Juli 2013

Nukilan Kalangwan Bag.2 (ringkas)



Bab: ARJUNAWIWĀHA GUBAHAN MPU KANWA
            (Pernikahan Arjuna)

Arjunawiwāha merupakan tonggak pertama yang mengawali sastra puitis Jawa Timur. Dalam cerita Arjunawiwāha terdapat suatu bagian yang diambil dari kisah tentang Pāndawa seperti dalam Mahābhārata yaitu waktu mereka hidup dalam pembuangan di hutan selama 12 tahun. Bila dibandingkan antara epos Mahābhārata dengan kakawin ini maka kemiripan hanya dijumpai dalam kisah mengenai pertemuan dengan Siwa. Selain itu, kemiripan hanya terbatas pada tema umum biasa seperti kunjungan Indra yang menyamar sebagai seorang brahmin, tinggalnya Arjuna di surga dan perlawanannya terhadap raksasa. Tetapi konteksnya lain dan seluk beluknya memperlihatkan perbedaan yang besar. Kakawin ini merupakan buah cipta sendiri atau ceritanya sudah terdapat di Jawa lalu oleh penyair dituangkan dalam bentuknya seperti ini. Syair ini ditulis sekitar tahun 1028-1035M pada jaman raja Airlangga.
Ikhtisar:
        Niwātakawaca (seorang daitya) mengadakan persiapan untuk menyerang surga, kerajaan Indra. Raksasa itu tidak dapat dikalahkan oleh dewa ataupun raksasa, sehingga Indra menjatuhkan pilihannya pada Arjuna. Sebelumnya Arjuna yang tengah beryoga di gunung Indrakīla, diuji dahulu dengan diturunkannya 7 bidadari untuk menggoda dan merayu Arjuna. Namun Arjuna tak menghiraukannya sama sekali. Para bidadari kembali ke surga melaporkan kegagalannya, hal itu mengembirakan Indra karena Arjuna masih teguh. Lalu Indra turun menyamar sebagai brahmin, ia disambut dengan hormat oleh Arjuna dan ia memberikan nasihat dan menanyakan tujuannya dalam bertapa. Indra menerima jawaban dengan rasa puas karena pilihannya tidak meleset. Ia meramalkan bahwa Arjuna akan bertemu dengan Siwa setelah itu lenyap.

Nukilan (lainnya) Kalangwan Bag.1 (ringkas)



Bab: ALAM YANG TERPANTUL DALAM SASTRA KAKAWIN

Deskripsi tentang alam terdapat pula dalam sastra kakawin. Tetapi para pengarang masih memperlihatkan ketergantungan mereka pada sastra India. Pemakaian satuan-satuan waktu dan musim di Jawa dan India ada perbedaan. Di India dikenal satuan waktu kalā (48 detik); ghatī, ghatikā, nādī, nādikā (24 menit=30 kalā); muhūrta, ksana(48 menit); divasa(24 jam). Sementara di Jawa perbedaan hari yang paling panjang dan paling pendek tidak melebihi waktu satu jam; fajar dan senja selalu sekitar pukul 6. Di India berlaku sistem perhitungan bulan berdasrkan peredaran bulan maupun peredaran matahari. Tahun matahari terdiri dari 12 bulan yang panjangnya tidak sama. Tahun rembulan terdiri dari 12 bulan yang masing-masing meliputi 30 hari. Perhitungan mengenai waktu-waktu dalam setahun yang jauh lebih umum diikuti ialah penanggalan kaum tani yang berdasarkan peredaran matahari dan bulan-bulannya tidak sama panjang. Pada bulan Srāwana musim kering mencapai puncaknya. Pada bulan Māgha hujan turun siang dan malam. Bagi seorang penyair tak ada satu bulanpun yang dapat bersaing dengan Kārttika atau kapat (Oktober-November). Itulah bulan penuh keindahan, bulan yang paling disukai oleh semua orang yang mencari keindahan.
Seperti musim-musim, dunia tumbuhan dan hewan dalam sastra kakawin kebanyakan bersifat Jawa. Pohon-pohon dan bunga-bunga yang diperhatikan dengan istimewa dalam sastra kakawin diantaranya asoka, asana, andul, pudak, wungū dan campaka. Jenis bambu juga disebut seperti pring, pĕtung dan wuluh. Tidak ketinggalan pula cemara, macam-macam pohon kelapa, katirah, gadung, pakis dan bunga mĕnur. Hewan-hewan yang asli Jawa ialah harimau, badak, berbagai jenis kera dan beruang. Berbagai burung pun disebut seperti cātaka, cucur, kalangkyang, hĕlang, tadah-asih, walik, dadali dan kuntul.
Daerah pedesaan turut pula tergambar dalam sastra kakawin. Beberapa dusun di daerah pegunungan mengesankan karena kemiskinannya, lumbung-lumbung kecil dan lembu-lembu yang demikian kurus sehingga menyerupai domba. Tetapi dusun-dusun lain terlihat makmur, terutama yang dekat dengan sebuah pertapaan. Pertapaan-pertapaan tersebut memperpadukan kehidupan di pedesaan dengan kehidupan di kraton. Dalam semua ungkapan puitis, dijumpai sebuah unsur pokok dalam alam pikiran Jawa Kuno: kemanunggalan alam semesta dan semua makhluk di dalamnya yang saling terkait(pada dasarnya bersatu).

Minggu, 07 Juli 2013

Nukilan Kalangwan Bag.1 (ringkas)



Bab: SASTRA PARWA
 
Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa Sansekerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa Sansekerta, kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu. Diperkirakan Ādiparwa, Bhismaparwa, Uttarakānda ditulis pada waktu yang sama seperti Wirātaparwa, sebab dalm keempat parwa itu nama raja sama yakni Sri Dharmawangsa Tĕguh Anantawikramottunggadewa. Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama, inipun menjadikan kita rancu dalam menentukan tanggal penulisannya sebagai akibat dari kesalahan dan keteledoran penyalinan yang salah oleh juru-juru salin.


1.      Ādiparwa
Merupakan suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab pertama Mahābhārata. Di sini berisikan kisah upacara pengorbanan oleh Janamejaya, kisah para Naga dan Garuda dan kisah Pandawa dan Kurawa.
Upacara Korban
Alkisah, Raja Janamejaya putra Parikesit, cucu Abhimanyu, memerintahkan para pendeta istana untuk mempersiapkan upacara persembahan korban (untuk memusnahkan para Naga) yang akan dipimpin oleh Uttangka, seorang brahmin yang memiliki dendam pada Taksaka, raja para naga, yang telah merampas sepasang subangnya sekaligus penyebab kematian Raja Parikesit, ayah Janamejaya. Raja Parikesit mangkat setelah digigit Taksaka yang menyamar menjadi ulat buah jambu sebagai perwujudan kutukan dari anak seorang brahmin yang dijumpainya saat berburu. Hal tersebut yang membuat Janamejaya ingin memusnahkan para Naga.

Kajian Semantik: Wanita dan Ungkapan Tradisional



---Semarang,2011--- 

Kajian Semantik: Wanita dan Ungkapan Tradisional
Rofika Dwi P (2601409115)


1.    Latar Belakang
Masyarakat Jawa memiliki kultur yang kaya akan nilai-nilai luhur. Di dalamnya terdapat seperangkat norma atau kaidah-kaidah yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia, meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari lahir hingga mati, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Semua ada adabnya, termasuk bagaimana kita berjalan.
Wong Jawa nggoning semu merupakan ungkapan dalam kultur Jawa yang berarti ‘orang Jawa tempatnya kesemuan’. Semu merujuk pada kepalsuan. Namun ungkapan tersebut tidak bermakna negatif, bukan berarti orang Jawa itu pemalsu yang merugikan. Istilh tersebut mengandung makna bahwa masyarakat Jawa dalam kulturnya berada dalam kerangka simbolisme. Sehingga segala sesuatu yang ingin disampaikan pada seseorang tidak secra langsung, namun melalui pasemon dengan ungkapan-ungkapan tertentu.

Sunan Tembayat



Ki Ageng Pandanarang II

Semarang kalebu kutha kang makmur ing jamane Ki Ageng Pandanarang I jumeneng. Panjenengane tansah emut marang ajarane para wali ing paprentahane. Ki Ageng Pandanarang I utawa Ibnu Abdullah iku murid Sunan Bonang lan Sunan Ampel. Panjenengane didhawuhi Sunan Bonang ambabat alas kang saiki dadi papan aran Semarang.
Ki Ageng Pandanarang I kagungan putra cacah nem. Sadurung seda, panjenengane ngendikan, “Anak-anakku, yen ingsun tilar donya, terusna lelakon syiar agama Islam. Aja pisan-pisan sira ninggalake ajarane para wali. InsyaAllah uripmu mulya ing donya lan akerat.”
Sawise  panjenengane seda Raden Kaji, putra mbarepe, angganteni dadi Adipati Semarang kaaran Ki Ageng Pandanarang II.

Tradisi Semarangan (lainnya...)

Tradisi Semarangan

1. Dugder
Kata Dug der, nama upacara ini, diambil dari perpaduan bunyi bedug yang dipukul sehingga berbunyi dug, dug dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan der. Telah dilakukan sejak 1881, tradisi yang dikenal dengan dugder ini menjadi tanda bahwa bulan Ramadhan sudah menjelang karena dilaksanakan tepat satu hari sebelum bulan puasa. Beberapa hari sebelum acara ini berlangsung, biasanya, banyak pedagang yang telah menggelar dagangannya untuk menyambut pembeli pada saat acara ini dimulai. Ciri khas acara ini adalah Warak Ngendog yang dilestarikan hingga kini. Warak Ngendog adalah jenis binatang rekaan yang bertubuh kambing dan berkepala naga dengan kulit seperti bersisik dibuat dari kertas warna-warni. Pada masa sekarang, sebelum acara dibuka, dilakukan arak-arakan yang menampilkan Warak Ngendog dan pengantin Semarangan.

2. Pengantin Semarangan
Di masa lalu pengantin Semarangan ini disebut dengan Manten Kaji karena pria mengenakan sorban yang biasa dikenakan oleh haji. Tidak seperti pengantin Solo maupun Yogya, pada pengantin Semarangan ini keduanya mengenakan celana panjang komprang dengan payet di bagian bawahnya, sedang baju atasnya berupa baju berlengan panjang yang tertutup sampai ke leher. Dalam prosesinya, tidak ada acara injak telur atau lempar sirih tetapi iring-iringan rebana yang menyertai kedatangan pengantin pria. Setelah acara temu kedua mempelai didudukkan di pelaminan dan setelah 10 menit mempelai pria boleh meninggalkan pelaminan sementara mempelai wanita terus duduk sampai acara berakhir.

3. Ruwatan
Pada masa modern ini ternyata tradisi Ruwatan maasih diyakini masyarakat untuk membuang kesialan yang biasa menghambat langkah dalam hidup orang-orang yang tergolong dalam sukerta. Orang-orang sukerta ini, menurut cerita, adalah orang-orang yang akan dimangsa oleh Betara Kala. Untuk keluar dari Sukerta, seseorang harus diruwat. Dalam upacara ini para Sukerta disirami oleh sang dalang dan dilakukan pengguntingan rambut, yang kemudian dilarung ke laut. Dalang, yang kemudian menggantikan kisah wayang kulit mengenai kisah asal mula dijadikannya bocah Sukerta sebagai mangsa Betara Kala ini, bukan sembarang dalam dan harus menjalani tirakat sebelum memimpin upacara ini. Upacara yang dilakukan tiap satu Syura ini sekarang berlangsung massal dan diselenggarakan olehYayasan Permadani.

4.Ba’do Gablog
Upacara yang diselenggarakan di daerah Sodong, Mijen ini merupakan upacara tradisional di bulan Syawal pada hari jatuhnya ba’da kupat yaitu tanggal 6 Syawal. Upacara ini dilakukan untuk memohon berkah dan keselamatan Yang Maha Kuasa dengan membawa berbagai sesaji khususnya gablog yaitu ketupatj nasi yang besar.Sesaji yang dibawa oleh masing-masing penduduk di kumpulkan jadi satu dan kemudian diadakan doa bersama. Setelah doa bersama tersebut sesaji disantap bersama-sama.

Selapanan ala Semarang



TRADISI SELAPANAN DI KOTA SEMARANG
Oleh Rofika Dwi
1.      Latar Belakang
Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dimana manusia berada pastilah disitu terdapat budaya. Tiap tempat pastilah berbeda kebudayaannya, antar tempat satu dengan yang lainnya. Suatu bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan berulang-ulang (membudaya) sejak lama dan merupakan konvensional, diterima oleh anggota suatu masyarakat, akan membentuk suatu tradisi.
Hampir dalam keseharian dapat dijumpai pemeringatan kelahiran. Perayaan tersebut sepertinya telah menjadi suatu tradisi dari tahun ke tahun. Tradisi pemeringatan hari kelahiran tersebut sebenarnya berasal dari mancanegara. Sekarang telah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Indonesia. Khususnya pada masyarakat Jawa, dengan kemajemukan penduduknya, dirasa sudah sangat familiar dengan tradisi tersebut.
Di Jawa Tengah, tidak sedikit masyarakat Jawa (pribumi) yang ikut merayakan tradisi tersebut. Ada perayaan atau peringatan hari jadi, hari lahir (harlah), dies natalis, dan sebagainya. Pada intinya, semua sama yakni peringatan kelahiran. Masyarakat merayakannya bermewah-mewahan, besar-besaran yang hingga dapat menelan budget yang tidak kecil. Alih-aih sebagai salah satu bentuk syukur (tasyakuran), perayannya bagai ajang foya-foya, membuang waktu dan uang. Sehingga tujuan dari peringatan tersebut sudah jauh dari asalnya. Beralih sebagai pemuas kesenangan duniawi.
Di tengah kerasnya arus globalisasi, dirasa mahal kenampakan dari perayaan (tradisional) oleh pribumi (Jawa), khususnya upacara kelahiran asli adat Jawa. Keberadaan tradisi tersebut yang benar-benar murni dapat dikatakan jarang. Kalaupun ada, bagaimanakah prosesi pemeringatannya. Seperti yang telah diketahui, di era modernisasi ini kebanyakan pemeringatan hari kelahiran sarat dengan kue tart, lilin dan lain-lain. Apakah dalam adat Jawa memang sama seperti itu, pastilah di dalamnya kental dengan maksud spirituil. Dengan kata lain, dalam suatu upacara sarat akan makna.

Kamis, 04 Juli 2013

Kajian Semiotik



Kajian Semiotik pada 5 Puisi Karya Widodo Basuki


DONGENG MISTIS
ing pungkase gamelan talu
dupa kumelun dadi daging
ukara dadi roh
hong, sepisan dadi
kelir manjilma jagad
blencong dadi srengenge
ing ngisor janur malengkung
adam lan babu kawa campur dewa-dewa
njumputi kama tumiba
dibungkusi kulit
dikemuli wewayangan
wong jawa
senengane dolanan nyawa
Surabaya, 1991
(Medhitasi Alang-alang hal. 2)

  • Pembacaan heuristik

Ing pungkase gamelan talu dupa kumelun (kaya-kaya) dadi daging, ukara (-ukarane dhalang) dadi roh. (kanthi ukara) Hong, (sanalika kabeh) dadi (mawujud), kelir manjilma (dadi) jagad (dene) blencong (kaya-kaya) dadi srengenge. --- bait ke-1
Ing ngisore janur (kang) malengkung, adam lan  kawa campur dewa-dewa njumputi kama tumiba (bebarengan). (Kama kang) dibungkusi kulit (lan) dikemuli wewayangan. --- bait ke-2
Wong Jawa senengane dolanan nyawa. --- bait ke-3

  • Pembacaan hermeneutik

Di awal dunia terbentuk merupakan kehendak Tuhan. Manusia tecipta dari tanah (daging). Kun faya kuun, dengan seketika semua akan jadi, akat terwujud. Ada semesta beserta tata suryanya (jagad), ada matahari yang merupakan energi kehidupan. --- bait ke-1
Dalam peristiwa yang keramat (pernikahan), seorang suami (adam) dan istri (kawa) melakukan suatu ibadah (sanggama). Atas kehendak Tuhan tertanam benih kehidupan dalam tubuh istri yang semula hanya berbentuk sel telur hingga menjadi wujud manusia seutuhnya. --- bait ke-2
Masyarakat di tanah Jawa senang berbuat sanggama. --- bait ke-3

Selasa, 02 Juli 2013

Cerkak



KRESNANE KARTIKA


“Apa kuwi?? Swara apa?”
“cuiiiii..tt,,cuiiii…ttt….duer….”
“Sapa? Tangan sapa iki?”
“Duh, ing ngendi iki?”
Kabeh peteng, amung ening tanpa swara..tanpa daya. Amung ana alang-alang. Mabit mangiwa manengen katiyup bayu..
“Bayu?!”
“Ya, bayu..iku bayu..”
***
 “Dhewekan, Mas?”
Dumadakan keprungu pitakonan, mbuyarake angenku. Langit katon resik ing wayah iki. Nora ana mendhung, amung lintang-lintang kang abyor ing tawang. Hawa adem angrasuk raga agawe tentrem. Apa maneh bocah wadon kuwi teka. Nambah tentreming atiku.
“Dakkancani oleh ora, Mas?”
“Mangga... Oya, bar saka ngendi?”
“Saka omah..”
Saben bengi aku seneng nyawang langit. Apa maneh nek ana candra kang purnama, kaya bengi iki. Rasane ayem bisa andeleng awang-awang. Semana uga bocah wadon iku, iya seneng nyawangi langit. Iku mau bisa gawe aku tansah eling lan nambah rasa sokur marang Gusti.
“Mas, kok ana lintang kang katon abang lan biru? Sakngertiku amung kuning utawa putih..”
“Mm, nek katon abang tegese lintang kuwi tuwa umure. Dene biru utawa putih tegese isih enom..”
“Coba sawangen lintang kae. Kae lintang kasenenganku..”
“Iya, Mas.. Lintange apik, awerna biru, terang sisan..”
“Nek aku sing kae, Mas. Werna abang, gumebyar..”
Nyawang esem manise, ditambah praupane kang bungah agawe atiku tambah deg-degan. Rasane aku kapengin ngrangkul kartikaku kenceng-kenceng, supaya tansah gawe teranging suksmaku kang kebendu sepi.
Dumadakan saka sisih kidul ana lintang tumiba. Kartika kang ngonangi seneng banget. Dheweke nggegeri karo narik-narik klambiku. Ngajaki make a wish, nanging aku ora percaya kaya ngono. Dheweke tetep kukuh. Huh, gelem ora gelem aku ngiyani. Andeleng praupane kang bungah gawe atiku uga seneng.
“Njaluk apa, Ka?”
“Aku kapengin ing mbesuke bisa nyawang lintang bareng maneh.”
Keprungu kandane iku, aku kaget. Apa karepe ngomong kaya mangkono. Aku takon kenapa. Dheweke semawur menawa sesuk esuk arep menyang negara manca, jalaran bapake kang kudu tugas mrana. Atiku rada cuwa, nanging dheweke semaya ora bakal lali karo aku. Dheweke bakal kirim layang.
***
Amplop kanthi gambar kembang sakura lan lintang tumiba, daktampa esuk iki. Nalikane, atiku kumeser. Apa iki layang saka Kartika. Banjur dakwaca. Dheweke nulis kaya apa kahanan ing kana. Jare nyawang lintang ana kana luwih katon endah, katon nyenengake. Dheweke kapengin nyawang lintang bareng aku. Sawise maca, atiku rada lega. Jalaran 5 sasi tanpa kabar, aku wedi yen dheweke lali marang aku.
“Hayo!! Isih nglamunake sapa, Mas?”
“Ah, Bayu,, ngrusohi bae..”
“Lha salahe nglamun bae.. Ora apik, yen kesambet piye?”
“Arep kesambet apa? Setane rak ya awakmu ta?! Haha...”
“Asem ik..”
“Mau layang saka Kartika ya? Apa isine, Mas?”
“Iya, dheweke amung nulis yen dheweke apik-apik bae..”
“Masa amung nulis ngono? Ora nulis yen kangen karo sampeyan?”
“Wkwkwkwk... Ya wislah, aku mangkat dhisik Mas.”
“Ya kana, ning dalan ati-ati..”
Sokurlah, awakmu isih eling marang aku, Ka. Wengi iki apa awakmu iya nyawang lintang. Wengi iki rasane aku kapengin nyawang bareng ana kana. Dhuh, pikirku lan atiku cambur bawur ngangen-angeni ana kana.
***
Arep rong taun mlaku, aku lan Kartika kirim-kiriman layang. Saben amplope mesthi kanthi gambar kembang sakura lan lintang. Atiku seneng rasane, dina iki aku arep nampa layang saka dheweke maneh. Jalaran dheweke semaya yen candrane arep purnama mesthi kirim layang. Dina iki (wengi) candrane purnama. Aku ngarep-arep tekaning pak pos kang anggawa layang saka Kartika. Nganthi awan iki layang saka dheweke durung teka-teka. Saiki wis wayah sore, nanging layange uga durung teka. Ing wengi iki aku nyawang lintang.
“Dhuh lintang, ana apa karo dheweke?”
“Kena apa durung ana kabar saka dheweke?”

Senin, 01 Juli 2013

Serat Wirid

WEWEJANGE PARA WALI


Sajroning dhadha iku ati, saantaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi jinem, sajroning jinem iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran, ananging ingsun.


Sastra Jawa Klasik dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Di dalamnya mengandung ide-ide atau gagasan-gagasan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta, menurut persepsi budaya masyarakat bersangkutan, ajaran moral, fisafat, keagamaan, dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai-nilai luhur (Tashadi,1991:3-4).
Sejalan dengan berkembangnya jaman, karya-karya sastra Jawa hampir tak tersentuh oleh para pewarisnya. Hal ini dimungkinkan karena aksara pengantar yang digunakan dalam penulisan naskahnya. Banyak karya sastra Jawa lama tertulis dalam  naskah dengan aksara-aksara yang sulit dimengerti. Naskah-naskah tersebut semuanya berupa tulisan tangan dengan bahasa daerah pada saat itu. Kadangkala ada yang ditulis dalam huruf Arab atau huruf latin. Sedangkan aksara-aksara maupun bahasa-bahasa tersebut tidak lagi dipelajari dalam dunia pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, generasi muda jaman sekarang, sejalan dengan adanya globalisasi, kesulitan dalam melestarikannya.
Wirid menurut KBBI berarti dzikir, bacaan sesudah shalat. Menurut ahli sastra, wirid berarti bacaan (ajaran) pesantren yang berkaitan dengan tassawuf.

Kebaikan Kurawa

            Hampir tiap orang pasti mengetahui kisah Baratayudha dan dapat menjawab pertanyaan “Bagaimana watak Kurawa?” dan pasti 100% akan menjawab jahat, buruk, jelek, liar dan sebagainya. Lalu apakah itu berarti bahwa orang yang berwatak Kurawa penjahat? Apakah saat kita berlaku seperti Kurawa disebut jahat? Ada pendapat bahwa baik dan buruk itu masalah moral, tapi ada pendapat lain bahwa baik dan jahat tergantung pada tujuan dan maksud serta hasil akhir yang terjadi. Mungkinkah pada diri Kurawa, walau sedikit, terselip hal-hal baik?