TRADISI SELAPANAN DI KOTA SEMARANG
Oleh
Rofika Dwi
1.
Latar Belakang
Budaya merupakan hasil cipta,
rasa dan karsa manusia. Dimana manusia berada pastilah disitu terdapat budaya. Tiap
tempat pastilah berbeda kebudayaannya, antar tempat satu dengan yang lainnya.
Suatu bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan berulang-ulang (membudaya) sejak
lama dan merupakan konvensional, diterima oleh anggota suatu masyarakat,
akan membentuk suatu tradisi.
Hampir dalam keseharian dapat
dijumpai pemeringatan kelahiran. Perayaan tersebut sepertinya telah menjadi
suatu tradisi dari tahun ke tahun. Tradisi pemeringatan hari kelahiran tersebut
sebenarnya berasal dari mancanegara. Sekarang telah menjadi suatu tradisi bagi
masyarakat Indonesia. Khususnya pada masyarakat Jawa, dengan kemajemukan
penduduknya, dirasa sudah sangat familiar dengan tradisi tersebut.
Di Jawa Tengah, tidak sedikit
masyarakat Jawa (pribumi) yang ikut merayakan tradisi tersebut. Ada perayaan
atau peringatan hari jadi, hari lahir (harlah), dies natalis, dan
sebagainya. Pada intinya, semua sama yakni peringatan kelahiran. Masyarakat
merayakannya bermewah-mewahan, besar-besaran yang hingga dapat menelan budget
yang tidak kecil. Alih-aih sebagai salah satu bentuk syukur (tasyakuran),
perayannya bagai ajang foya-foya, membuang waktu dan uang. Sehingga tujuan dari
peringatan tersebut sudah jauh dari asalnya. Beralih sebagai pemuas kesenangan
duniawi.
Di tengah kerasnya arus
globalisasi, dirasa mahal kenampakan dari perayaan (tradisional) oleh pribumi
(Jawa), khususnya upacara kelahiran asli adat Jawa. Keberadaan tradisi tersebut
yang benar-benar murni dapat dikatakan jarang. Kalaupun ada, bagaimanakah
prosesi pemeringatannya. Seperti yang telah diketahui, di era modernisasi ini kebanyakan
pemeringatan hari kelahiran sarat dengan kue tart, lilin dan lain-lain. Apakah
dalam adat Jawa memang sama seperti itu, pastilah di dalamnya kental dengan maksud
spirituil. Dengan kata lain, dalam
suatu upacara sarat akan makna.
Orang awam memandang dunia
Jawa (kejawen) sarat akan ‘kemistisannya’ (nilai filosofis, nilai
spirituiil), adakah keterpaduannya dengan pemeringatan suatu peristiwa
kelahiran. Berbeda dengan budaya manca yang dirasa jauh dari hal-hal spirituiil
atau bahkan kemistisan.
Banyak masyarakat Jawa,
khususnya warga kota Semarang yang dengan antusiasmenya ingin merayakan atau
memperingati kelahiran. Hampir seluruh warga kota Semarang melaksanakan upacara
kelahiran, khususnya selapanan, digabungkan dengan upacara aqiqah.
Seringkali dalam pelaksanaannya, diadakan secara besar-besaran. Banyak yang
beranggapan karena sudah tradisi dan ada pula yang beranggapan karena gengsi.
Sebenarnya untuk apa (atas dasar apa) suatu peristiwa kelahiran harus
diperingati atau dirayakan. Adakah faedahnya, adakah manfaatnya, sebagian
masyarakat awam tidak mengetahui itu. Kebanyakan dari mereka, dapat dikatakan,
ikut-ikutan saja.
2.
Pelaksanaan Selapanan
di Kota Semarang
Mulanya, masyarakat Jawa
merupakan masyarakat yang menganut animisme dan dinamisme. Mereka
mempercayai adanya roh-roh nenek moyang dan benda-benda yang memiliki kekuatan
magis. Hingga masuknya agama Hindu-Budha dan disusul dengan masuknya agama
Islam, kepercayaan animisme dan dinamisme tersebut masih melekat
pada masyarakat Jawa. Adanya akulturasi tersebut, menambah kekayaan identitas
kebudayaan Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan upacara-upacara
tradisi Jawa. Upacara kelahiran khususnya.Seperti halnya ulang tahun,
kembalinya hari lahir menurut perhitungan kalender Jawa diyakini perlu diperingati.
Masa sekarang masyarakat Jawa dominan
memeluk agama Islam. Dalam pelaksanaan upacara kelahiran, seringkali masyarakat
memadukannya dengan aqiqah yang merupakan budaya Islamiyah. Khususnya
masyarakat kota Semarang, yang memang dominan dengan agama Islam, sering
melaksanakan adat selapanan bersamaan dengan aqiqah.
2.1.Selapanan dan Aqiqah
Selapanan merupakan upacara yang dilaksanakan ketika bayi sudah mencapai usia 35
(tiga puluh lima) hari.
Aqiqah merupakan
upacara syukuran yang dilaksanakan ketika bayi berusia 7 (tujuh) hari. Secara
bahasa ‘aqiqah berarti ‘memutus’, sedangkan secara istilah Syara’
aqiqah berarti ‘menyembelih kambing untuk anak pada hari ke tujuh dari hari
kelahirannya’.
Adapun
inti pelaksanaan keduanya sama, yakni sama-sama dalam rangka memanjatkan syukur
serta pemberian nama si bayi.
Dalam
upacara selapanan, adapun tata cara atau tahap-tahap yang dilaksanakan.
Upacara tersebut didahului dengan parasan, yang berasal dari kata
‘paras’ yang berarti cukur. Jadi parasan adalah mencukur rambut si bayi
yang dilakukan oleh sang ayah kemudian diikuti oleh para sesepuh. Hal tersebut
dilaksanakan bersamaan pemberian nama si bayi. Setelah rambut dicukur bersih, kemudian
dilakukan pemotongan kuku. Potongan rambut dan kuku dijadikan satu dengan
ari-ari, dibungkus dengan kain mori lalu dikuburkan.
Setelah
upacara pemotongan rambut dan kuku selesai, diucapkan ujub dan disusul
dengan doa untuk memohon keselamatan bagi si bayi dan keluarga. Adapun sesaji
yang digunakan untuk selamatan selapanan yang diletakkan di dekat tempat
tidur si bayi, yakni bathok yang dilubangi dialasi dengan daun. Pada bathok
tersebut diberi katul dan arang jati kemudian ditumpangi daun, setelah
itu, diberi tumpeng. Tumpeng tersebut diberi brambang (bawang merah) dan
cabai yang ditancapkan di ujung tumpeng, serta diberi telur.
Adapun bancakan atau makan yang disajikan kepada
para hadirin, yakni nasi urapan. Nasi putih diletakkan di tampah dan
dilengkapi dengan gudangan atau urap dengan bumbu kelapa putih tak
pedas. Nasi urapan ini kemudian dibagikan kepada para hadirin dalam wadah
berupa pincuk dan takir yang terbuat dari daun pisang.
Sedangkan dalam aqiqah, mungkin dapat dikatakan
lebih sederhana dari upacara selapanan. Adapun prosesi didalamnya hampir
sama dengan selapanan, yakni sang ayah memberikan nama kepada si bayi
kemudian mencukur rambut si bayi. Lalu orang tua si bayi bersedekah senilai
harga perak atau emas setimbang dengan berat rambut.
Selain itu, juga disembelihkan kambing atau domba.
Apabila anak laki-laki maka dianjurkan menyembelih dua ekor, sedangkan untuk
anak perempuan satu ekor. Adapun penyembelihannya harus dilandasi niat atas
nama anak yang lahir dan dilandasi atas Tuhan. Hasil sembelihan dimasak dan
dibagi-bagikan kepada para hadirin serta untuk keluarga. Biasanya olahan daging
kambing tadi dibagikan bersama nasi gudangan (untuk bancakan).
2.2.Makna-makna yang Tersirat
Dalam melaksanakan
upacara kelahiran, masyarakat Jawa percaya bahwa keseluruhan unsur dalam
upacara tersebut mempunyai makna atau lambang tersirat. Makna atau lambang yang
tersirat dalam upacara-upacara masa kelahiran dalam masyarakat Jawa, khususnya
pada upacara selapanan diantaranya:
2.2.1
Penguburan rambut, potongan kuku dan ari-ari
dimaksudkan apabila di masa dewasa kelak mengalami kesulitan, kesemuanya
tadi di makan untuk sarana tolak bala.
Namun di kota Semarang hal tersebut hampir sulit diketemukan. Kebanyakan warga membuang
potongan rambut dan potongan kuku si bayi setelah prosesi ke aliran air yang
mengalir. Adapun hanya ari-ari yang dikuburkan pada upacara puputan.
2.2.2
Tumbak sewu
(pada tumpeng), yaitu sapu lidi yang diberi bawang dan cabe, diletakkan di
dekat tempat tidur bayi. Tumbak sewu ini bermakna untuk menolak makhluk gaib
yang datang, yang mungkin akan mengganggu keselamatan si bayi.
2.2.3
Telur mentah melambangkan
kekuatan.
2.2.4
Kelapa melambangkan
ketahanan fisik.
2.2.5
Ingkung
melambangkan embrio.
2.2.6
Sega gudangan
melambangkan kesegaran jasmani rohani. Adapun urapan tersebut terdiri dari 7
(tujuh) jenis sayur mayur yang
merupakan simbolisasi dari harapan bahwa si bayi akan mendapat banyak
pertolongan/pitulungan. Asalkan jumlahnya harus ganjil karena dalam perhitungan
Jawa, angka ganjil diyakini paling tinggi nilai keberuntungannya.
2.3.Dasar Pelaksanaan
Dalam bertindak atau melakukan suatu kegiatan pastilah
ada alasan. Pastilah ada suatu tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan
kegioatan tersebut. Dalam dunia Jawa, hampir seluruh bentuk kegiatan sosial
(perayaan, upacara, dll) memiliki maksud atau tujuan yang berkaitan dengan hal spirituiil (ketuhanan) serta siklus
kehidupan.
Masyarakat kota Semarang khususnya, sering melakukan
upacara kelahiran yakni selapanan
bersamaan dengan aqiqah. Adapun
beberapa dasar atau alasan yang menjadikan demikian, diantaranya:
2.3.1.
Menjalankan
syara’ Islam
Masyarakat kota Semarang mayoritas memeluk agama Islam.
Dalam pelaksanaan peribadatan terdapat kewajiban serta anjuran (sunnah).
Aqiqah merupakan salah satu bentuk sunnah. Bagi pemeluk Islam, aqiqah
merupakan salah satu ibadat yang termasuk dalam syara’, yang alangkah
baiknya dilaksanakan.
2.3.2.
Ingin
me-nguri-uri budaya Jawa
Jaman yang semakin modern kini, nilai-nilai tradisional
yang menjadi akar kepribadian suatu komunitas (daerah) semakin ‘tergeser’ atau
bahkan hampir hilang. Masyarakat Jawa, khususnya masyarakat kota Semarang,
masih ‘terselimuti’ animisme dan dinamisme, dimana di dalamnya terkandung
nilai-nilai spiriutuiil yang menyangkut hubungan insan dengan penciptanya.
Dengan kemajuan jaman yang sangat pesat, masyarakat ingin menjaga nilai budaya
tersebut dari kepunahan.
2.3.3.
Menghemat
waktu dan biaya pelaksanaan
Disamping sebagai salah satu syari’at Islam serta
merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan, masyarakat juga bertujuan untuk
menghemat waktu dan biaya pelaksanaan. Dalam pengadaan selapanan maupun aqiqah
membutuhkan waktu yang relatif lama, mulai perencanaan sampai pelaksanaannya.
Begitu juga dengan anggarannya, keduanya memakan biaya yang tidak sedikit.
3. Simpulan
Masyarakat kota Semarang mayoritas beragama Islam.
Walaupun begitu, tidak meninggalkan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar,
yang sudah menjadi kebiasaan (tradisi). Kebanyakan masyarakatnya sering
melaksanakan upacara kelahiran selapanan bersamaan dengan upacara aqiqah.
Kedua bentuk upacara kelahiran tersebut pastilah memiliki
maksud atau makna-makna secara simbolik. Walaupun demikian, upacara selapananlah
yang sarat akan makna spirituiil yang dapat dikatakan berbau ‘mistis’ dibandingkan
dengan aqiqah. Selapanan mengandung banyak makna simbolik yang
tersirat pada tiap bagian di dalamnya. Diantaranya ialah penguburan rambut,
potongan kuku dan ari-ari untuk tolak bala; tumbak sewu (pada tumpeng) sebagai tolak bala ketika
bayi; telur mentah melambangkan kekuatan; kelapa
melambangkan ketahanan fisik; ingkung melambangkan embrio; sega gudangan melambangkan kesegaran jasmani rohani.
Sedangkan aqiqah tidak ada makna yang tersembunyi selain penyembelihan
kambing sebagai bentuk bersyukur secara simbolik.
Dalam pelaksanaannya yang bersamaan, adapun beberapa hal
yang mendasari, antara lain; untuk menjalankan syara’ Islam, untuk menguri-uri budaya Jawa (warisan leluhur),
menghemat waktu dan biaya pelaksanaan.
Adapun pelaksanaan kedua upacara merupakan salah satu
bentuk vertical connectivity antara
makhluk dengan Tuhan, hubungan spirituiil,
dengan tujuan agar senantiasa ingat kepada Sang Widi. Salah satu faedah atau
manfaat diadakannya sebuah upacara pemeringatan kelahiran, salah satunya adalah
dapat mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan.
Daftar Pustaka
Al-Islam. 2009. Tuntunan Aqiqah. Diunduh melalui http:
//treest.wordpress.com /2009/03/18/tuntunan-aqiqah/. (16/04/11)
Mahadewa, Soemodidjojo. 2001. Betaljemur Adammakna.
Jogjakarta: CT Buana Raya.
--Semarang,2011--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar