Minggu, 07 Juli 2013

Selapanan ala Semarang



TRADISI SELAPANAN DI KOTA SEMARANG
Oleh Rofika Dwi
1.      Latar Belakang
Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dimana manusia berada pastilah disitu terdapat budaya. Tiap tempat pastilah berbeda kebudayaannya, antar tempat satu dengan yang lainnya. Suatu bentuk kegiatan yang telah dilaksanakan berulang-ulang (membudaya) sejak lama dan merupakan konvensional, diterima oleh anggota suatu masyarakat, akan membentuk suatu tradisi.
Hampir dalam keseharian dapat dijumpai pemeringatan kelahiran. Perayaan tersebut sepertinya telah menjadi suatu tradisi dari tahun ke tahun. Tradisi pemeringatan hari kelahiran tersebut sebenarnya berasal dari mancanegara. Sekarang telah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Indonesia. Khususnya pada masyarakat Jawa, dengan kemajemukan penduduknya, dirasa sudah sangat familiar dengan tradisi tersebut.
Di Jawa Tengah, tidak sedikit masyarakat Jawa (pribumi) yang ikut merayakan tradisi tersebut. Ada perayaan atau peringatan hari jadi, hari lahir (harlah), dies natalis, dan sebagainya. Pada intinya, semua sama yakni peringatan kelahiran. Masyarakat merayakannya bermewah-mewahan, besar-besaran yang hingga dapat menelan budget yang tidak kecil. Alih-aih sebagai salah satu bentuk syukur (tasyakuran), perayannya bagai ajang foya-foya, membuang waktu dan uang. Sehingga tujuan dari peringatan tersebut sudah jauh dari asalnya. Beralih sebagai pemuas kesenangan duniawi.
Di tengah kerasnya arus globalisasi, dirasa mahal kenampakan dari perayaan (tradisional) oleh pribumi (Jawa), khususnya upacara kelahiran asli adat Jawa. Keberadaan tradisi tersebut yang benar-benar murni dapat dikatakan jarang. Kalaupun ada, bagaimanakah prosesi pemeringatannya. Seperti yang telah diketahui, di era modernisasi ini kebanyakan pemeringatan hari kelahiran sarat dengan kue tart, lilin dan lain-lain. Apakah dalam adat Jawa memang sama seperti itu, pastilah di dalamnya kental dengan maksud spirituil. Dengan kata lain, dalam suatu upacara sarat akan makna.
Orang awam memandang dunia Jawa (kejawen) sarat akan ‘kemistisannya’ (nilai filosofis, nilai spirituiil), adakah keterpaduannya dengan pemeringatan suatu peristiwa kelahiran. Berbeda dengan budaya manca yang dirasa jauh dari hal-hal spirituiil atau bahkan kemistisan.
Banyak masyarakat Jawa, khususnya warga kota Semarang yang dengan antusiasmenya ingin merayakan atau memperingati kelahiran. Hampir seluruh warga kota Semarang melaksanakan upacara kelahiran, khususnya selapanan, digabungkan dengan upacara aqiqah. Seringkali dalam pelaksanaannya, diadakan secara besar-besaran. Banyak yang beranggapan karena sudah tradisi dan ada pula yang beranggapan karena gengsi. Sebenarnya untuk apa (atas dasar apa) suatu peristiwa kelahiran harus diperingati atau dirayakan. Adakah faedahnya, adakah manfaatnya, sebagian masyarakat awam tidak mengetahui itu. Kebanyakan dari mereka, dapat dikatakan, ikut-ikutan saja.
2.      Pelaksanaan Selapanan di Kota Semarang
Mulanya, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang menganut animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai adanya roh-roh nenek moyang dan benda-benda yang memiliki kekuatan magis. Hingga masuknya agama Hindu-Budha dan disusul dengan masuknya agama Islam, kepercayaan animisme dan dinamisme tersebut masih melekat pada masyarakat Jawa. Adanya akulturasi tersebut, menambah kekayaan identitas kebudayaan Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan upacara-upacara tradisi Jawa. Upacara kelahiran khususnya.Seperti halnya ulang tahun, kembalinya hari lahir menurut perhitungan kalender Jawa diyakini perlu diperingati.
Masa sekarang masyarakat Jawa dominan memeluk agama Islam. Dalam pelaksanaan upacara kelahiran, seringkali masyarakat memadukannya dengan aqiqah yang merupakan budaya Islamiyah. Khususnya masyarakat kota Semarang, yang memang dominan dengan agama Islam, sering melaksanakan adat selapanan bersamaan dengan aqiqah.
2.1.Selapanan dan Aqiqah
Selapanan merupakan upacara yang dilaksanakan ketika bayi sudah mencapai usia 35 (tiga puluh lima) hari.
Aqiqah merupakan upacara syukuran yang dilaksanakan ketika bayi berusia 7 (tujuh) hari. Secara bahasa ‘aqiqah berarti ‘memutus’, sedangkan secara istilah Syara’ aqiqah berarti ‘menyembelih kambing untuk anak pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya’.
Adapun inti pelaksanaan keduanya sama, yakni sama-sama dalam rangka memanjatkan syukur serta pemberian nama si bayi.
Dalam upacara selapanan, adapun tata cara atau tahap-tahap yang dilaksanakan. Upacara tersebut didahului dengan parasan, yang berasal dari kata ‘paras’ yang berarti cukur. Jadi parasan adalah mencukur rambut si bayi yang dilakukan oleh sang ayah kemudian diikuti oleh para sesepuh. Hal tersebut dilaksanakan bersamaan pemberian nama si bayi. Setelah rambut dicukur bersih, kemudian dilakukan pemotongan kuku. Potongan rambut dan kuku dijadikan satu dengan ari-ari, dibungkus dengan kain mori lalu dikuburkan.
Setelah upacara pemotongan rambut dan kuku selesai, diucapkan ujub dan disusul dengan doa untuk memohon keselamatan bagi si bayi dan keluarga. Adapun sesaji yang digunakan untuk selamatan selapanan yang diletakkan di dekat tempat tidur si bayi, yakni bathok yang dilubangi dialasi dengan daun. Pada bathok tersebut diberi katul dan arang jati kemudian ditumpangi daun, setelah itu, diberi tumpeng. Tumpeng tersebut diberi brambang (bawang merah) dan cabai yang ditancapkan di ujung tumpeng, serta diberi telur.
Adapun bancakan atau makan yang disajikan kepada para hadirin, yakni nasi urapan. Nasi putih diletakkan di tampah dan dilengkapi dengan gudangan atau urap dengan bumbu kelapa putih tak pedas. Nasi urapan ini kemudian dibagikan kepada para hadirin dalam wadah berupa pincuk dan takir yang terbuat dari daun pisang.
Sedangkan dalam aqiqah, mungkin dapat dikatakan lebih sederhana dari upacara selapanan. Adapun prosesi didalamnya hampir sama dengan selapanan, yakni sang ayah memberikan nama kepada si bayi kemudian mencukur rambut si bayi. Lalu orang tua si bayi bersedekah senilai harga perak atau emas setimbang dengan berat rambut.
Selain itu, juga disembelihkan kambing atau domba. Apabila anak laki-laki maka dianjurkan menyembelih dua ekor, sedangkan untuk anak perempuan satu ekor. Adapun penyembelihannya harus dilandasi niat atas nama anak yang lahir dan dilandasi atas Tuhan. Hasil sembelihan dimasak dan dibagi-bagikan kepada para hadirin serta untuk keluarga. Biasanya olahan daging kambing tadi dibagikan bersama nasi gudangan (untuk bancakan).
2.2.Makna-makna yang Tersirat
Dalam melaksanakan upacara kelahiran, masyarakat Jawa percaya bahwa keseluruhan unsur dalam upacara tersebut mempunyai makna atau lambang tersirat. Makna atau lambang yang tersirat dalam upacara-upacara masa kelahiran dalam masyarakat Jawa, khususnya pada upacara selapanan diantaranya:
2.2.1     Penguburan rambut, potongan kuku dan ari-ari dimaksudkan apabila di masa dewasa kelak mengalami kesulitan, kesemuanya tadi  di makan untuk sarana tolak bala. Namun di kota Semarang hal tersebut hampir sulit diketemukan. Kebanyakan warga membuang potongan rambut dan potongan kuku si bayi setelah prosesi ke aliran air yang mengalir. Adapun hanya ari-ari yang dikuburkan pada upacara puputan.
2.2.2     Tumbak sewu (pada tumpeng), yaitu sapu lidi yang diberi bawang dan cabe, diletakkan di dekat tempat tidur bayi. Tumbak sewu ini bermakna untuk menolak makhluk gaib yang datang, yang mungkin akan mengganggu keselamatan si bayi.
2.2.3     Telur mentah melambangkan kekuatan.
2.2.4     Kelapa melambangkan ketahanan fisik.
2.2.5     Ingkung melambangkan embrio.
2.2.6     Sega gudangan melambangkan kesegaran jasmani rohani. Adapun urapan tersebut terdiri dari 7 (tujuh) jenis sayur mayur yang merupakan simbolisasi dari harapan bahwa si bayi akan mendapat banyak pertolongan/pitulungan. Asalkan jumlahnya harus ganjil karena dalam perhitungan Jawa, angka ganjil diyakini paling tinggi nilai keberuntungannya.
2.3.Dasar Pelaksanaan
Dalam bertindak atau melakukan suatu kegiatan pastilah ada alasan. Pastilah ada suatu tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegioatan tersebut. Dalam dunia Jawa, hampir seluruh bentuk kegiatan sosial (perayaan, upacara, dll) memiliki maksud atau tujuan yang berkaitan dengan hal spirituiil (ketuhanan) serta siklus kehidupan.
Masyarakat kota Semarang khususnya, sering melakukan upacara kelahiran yakni selapanan bersamaan dengan aqiqah. Adapun beberapa dasar atau alasan yang menjadikan demikian, diantaranya:
2.3.1.      Menjalankan syara’ Islam
Masyarakat kota Semarang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam pelaksanaan peribadatan terdapat kewajiban serta anjuran (sunnah). Aqiqah merupakan salah satu bentuk sunnah. Bagi pemeluk Islam, aqiqah merupakan salah satu ibadat yang termasuk dalam syara’, yang alangkah baiknya dilaksanakan.
2.3.2.      Ingin me-nguri-uri budaya Jawa
Jaman yang semakin modern kini, nilai-nilai tradisional yang menjadi akar kepribadian suatu komunitas (daerah) semakin ‘tergeser’ atau bahkan hampir hilang. Masyarakat Jawa, khususnya masyarakat kota Semarang, masih ‘terselimuti’ animisme dan dinamisme, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai spiriutuiil yang menyangkut hubungan insan dengan penciptanya. Dengan kemajuan jaman yang sangat pesat, masyarakat ingin menjaga nilai budaya tersebut dari kepunahan.
2.3.3.      Menghemat waktu dan biaya pelaksanaan
Disamping sebagai salah satu syari’at Islam serta merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan, masyarakat juga bertujuan untuk menghemat waktu dan biaya pelaksanaan. Dalam pengadaan selapanan maupun aqiqah membutuhkan waktu yang relatif lama, mulai perencanaan sampai pelaksanaannya. Begitu juga dengan anggarannya, keduanya memakan biaya yang tidak sedikit.
3.      Simpulan
Masyarakat kota Semarang mayoritas beragama Islam. Walaupun begitu, tidak meninggalkan nilai-nilai budaya yang sudah mengakar, yang sudah menjadi kebiasaan (tradisi). Kebanyakan masyarakatnya sering melaksanakan upacara kelahiran selapanan bersamaan dengan upacara aqiqah.
Kedua bentuk upacara kelahiran tersebut pastilah memiliki maksud atau makna-makna secara simbolik. Walaupun demikian, upacara selapananlah yang sarat akan makna spirituiil yang dapat dikatakan berbau ‘mistis’ dibandingkan dengan aqiqah. Selapanan mengandung banyak makna simbolik yang tersirat pada tiap bagian di dalamnya. Diantaranya ialah penguburan rambut, potongan kuku dan ari-ari untuk tolak bala; tumbak sewu (pada tumpeng) sebagai tolak bala ketika bayi; telur mentah melambangkan kekuatan; kelapa melambangkan ketahanan fisik; ingkung melambangkan embrio; sega gudangan melambangkan kesegaran jasmani rohani. Sedangkan aqiqah tidak ada makna yang tersembunyi selain penyembelihan kambing sebagai bentuk bersyukur secara simbolik.
Dalam pelaksanaannya yang bersamaan, adapun beberapa hal yang mendasari, antara lain; untuk menjalankan syara’ Islam, untuk menguri-uri budaya Jawa (warisan leluhur), menghemat waktu dan biaya pelaksanaan.
Adapun pelaksanaan kedua upacara merupakan salah satu bentuk vertical connectivity antara makhluk dengan Tuhan, hubungan spirituiil, dengan tujuan agar senantiasa ingat kepada Sang Widi. Salah satu faedah atau manfaat diadakannya sebuah upacara pemeringatan kelahiran, salah satunya adalah dapat mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan.


Daftar Pustaka

Al-Islam. 2009. Tuntunan Aqiqah. Diunduh melalui http: //treest.wordpress.com /2009/03/18/tuntunan-aqiqah/. (16/04/11)
Mahadewa, Soemodidjojo. 2001. Betaljemur Adammakna. Jogjakarta: CT Buana Raya.

--Semarang,2011--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar