Bab: SASTRA PARWA
Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa Sansekerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa Sansekerta, kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu. Diperkirakan Ādiparwa, Bhismaparwa, Uttarakānda ditulis pada waktu yang sama seperti Wirātaparwa, sebab dalm keempat parwa itu nama raja sama yakni Sri Dharmawangsa Tĕguh Anantawikramottunggadewa. Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama, inipun menjadikan kita rancu dalam menentukan tanggal penulisannya sebagai akibat dari kesalahan dan keteledoran penyalinan yang salah oleh juru-juru salin.
1.
Ādiparwa
Merupakan
suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab pertama Mahābhārata. Di sini
berisikan kisah upacara pengorbanan oleh Janamejaya, kisah para Naga dan Garuda
dan kisah Pandawa dan Kurawa.
Upacara Korban
Alkisah,
Raja Janamejaya putra Parikesit, cucu Abhimanyu, memerintahkan para pendeta
istana untuk mempersiapkan upacara persembahan korban (untuk memusnahkan para
Naga) yang akan dipimpin oleh Uttangka, seorang brahmin yang memiliki dendam
pada Taksaka, raja para naga, yang telah merampas sepasang subangnya
sekaligus penyebab kematian Raja Parikesit, ayah Janamejaya. Raja Parikesit
mangkat setelah digigit Taksaka yang menyamar menjadi ulat buah jambu sebagai
perwujudan kutukan dari anak seorang brahmin yang dijumpainya saat berburu. Hal
tersebut yang membuat Janamejaya ingin memusnahkan para Naga.
Para
Naga sadar akan bahaya yang menimpa mereka dari Raja Janamejaya lewat upacara
korbannya, merekapun memohon bantuan kepada Brahmā. Ketika upacara itu dimulai
datanglah para Naga dan ular, mereka tidak mampu pada kesaktian mantra-mantra
dan jatuh ke api korban. Saa itulah Āstika, anak seorang brahmin, muncul dan
membujuk hati raja. Akhirnya raja mengabulkan permohonan brahmin itu dan
mengakhiri upacara itu, Taksakapun selamat.
Para Naga dan Sang Garuda
Para
Naga diturunkan oleh Kadrū, salah seorang diantara 29 istri Kasyāpa sedangkan
Winata, seorang istri lain melahirkan burung Garuda. Suatu saat perdebatan
muncul diantara keduanya mengenai warna kuda Uccaihsrawa dengan
pertaruhan: yang terbkti kalah akan menjadi hamba yang lain. Dengan cara licik,
Kadrū memenangkan pertaruhan, yakni mengubah warna Uccaihsrawa dengan
bisa anaknya(naga). Winatapun menjadi hamba, ia memerintahkan Garuda untuk
menengok para Naga yang licik itu. Ia bisa membebaskan ibunya apabila ia
menyerahkan air amrta
yang dimiliki dewa. Garuda berhasil membawa air amrta
dengan syarat ia menjadi
kendaraan dari Dewa Wisnu. Air amrta telah diserahkan kepada para Naga sebagai tebusan, lalu
air itu direbut kembali oleh para dewa dari tangan para Naga dengan akal.
Pandawa dan Kurawa
Merupakan
bagian kedua Ādhiparwa, diawali dengan kisah beberapa leluhur Pandawa dan
Kurawa: kelahiran Byāsa(Krsna) atau Dwaipāyana, anak seorang brahmin Parāsara dan
Durgandhīni; kisah Sakuntala dan anaknya Bhārata; kelahiran Dewabrata(Bhīsma) yang bersumpah untuk tidak kawin. Suatu hari Bhīsma memenangkan sebuah sayembara dan memperoleh putri
Raja Kāsi yakni Ambā, Ambikā dan Ambilikā. Ambā mati terkena panah Bhīsma tanpa sengaja lalu kedua adiknya diperistri oleh
kedua adik Bisma, Citranggāda dan Citrawīrya. Yang kemudian menurunkan Dhrtarāstra (buta), Pāndu dan Widura.
Dhrtarāstra menikahi Gandharī dan
melahirkan 100 anak yang dikenal dengan Kurawa. Pāndu menikahi
Kuntī dan Madrī, dari Kuntī dilahirkan Yudhistira, Bhima dan Arjuna sedangkan dari
Madrī dilahirkan Nakula dan Sahadewa.
Pandawa dan Kurawa
bersama-sama diasuh di Hāstina
tempat kediaman raja Dhrtarāstra oleh Bhīsma dan
Drona. Antara kedua kelompok itu sering terjadi perselisihan. Saat di sebuah
pertandingan diantara keduanya, Karnapun hadir di dalamnya, di tempat itu juga Karna diangkat
oleh Duryudhana sebagai Raja Angga. Kurawa tak henti-hentinya mencoba
menyingkirkan Pandawa namun kerap dilanda kegagalan.
Setelah
selamat dari kebakaran sebuah rumah, Pandawa mengembara dan menyamar menjadi
sejumlah brahmin. Dalam pengembaraan, Bhima membunuh raksasa Hidimbi dan
mengawini adiknya Hidimbi(Arimbi) kemudian dikaruniai putra bernama Gatotkaca. Mereka
juga ikut dlam sebuah sayembara yang diadakan Raja Drupada, Arjuna berhasil
merebut putri Drupada, Drupadī, yang kemudian menjadi istri kelima bersaudara itu.
Suatu
hari di antara mereka terjadi perselisihan secara tidak sengaja yang membuat
Arjuna mengembara selama 12 tahun dan dalam perjalanannya ia memperistri Subhadrā
beranakan Abhimanyu.
2.
Wirātaparwa
Bagian
keempat epos Mahābhārata. Berisikan kisah pengembaraan Pandawa, Kunti dan
Drupadī di hutan yang kemudian menawarkan jasa mereka kepada
Matsyapati, raja Wirāta, dengan nama samaran Yudhistira sebagai brahmin bernama
Kangka, Bhima sebagai juru masak dan ahli gulat bernama Ballawa,
Arjuna sebagai sida-sida bernama Wrhannala, Nakula sebagai kusir bernama Granthika, Sahadewa
sebagai seorang gembala bernama Tantipala dan Drupadī sebagai
pelayan pribadi ratu Sudesnā bernama Serandhri.
Semua berjalan sesuai rencana tanpa diketahui identitas mereka. Kemudian Kīcaka terbakar
nafsu asmara terhadap Drupadī dan menginginkannya, ia dibantu oleh ratu. Drupadī meminta
tolong kepada Bhima kemudian Bhima membunuh Kīcaka beserta
keluarganya. Akibatnya Drupadī dikeluarkan dari istana.
Suatu
saat Kurawa melakukan penyerbuan dan raja Wirāta tertangkap
namun diselamatkan oleh Pandawa. Kabar tertangkapnya raja Wirāta sampai ke
telinga Uttara, putra sang raja lalu ia berangkat bersama Wrhannala(Arjuna) sebagai pengemudi kereta perangnya. Setelah
pertempuran, mereka kembali ke Wirāta namun Arjuna tidak ikut masuk kota. Setelah 3 hari
Pandawa menampakan diri sebagai ksatriya dan menerangkan semua yang telah terjadi. Raja berterima
kasih lalu mendesak agar Yudhistira naik tahta dan Arjuna menerima Uttarī. Keduanya
menolak dan Arjuna mengusulkan Abhimanyu menggantikan dirinya untuk menikahi
Uttarī.
3.
Udyogaparwa
Pandawa
dan Kurawa mempersiapkan diri dan mencari sekutu untuk menghadapi pertempuran
besar. Sebelum terjadinya pertempuran, masing-masing pihak mengadakan
perundingan di Hāstina serta para rsi turun dari surga turut di dalamnya. Di pihak Pandawa,
Krsna bersama Sātyaki mengusulkan untuk dicapainya pemecahan
secara damai namun Duryudhana keras kepala dan bersikeras dan langsung
meninggalkan bangsal agung.
Krsna kembali ke
Wirāta bersama Sātyaki, Krsna melaporkan kegagalannya. Menurut ajaran politik
tradisional terdapat 4 cara menghadapi musuh: sāma, bheda, dāna dan danda. Ketiga jalan pertama telah ditempuh namun gagal,
akhirnya tinggal jalan ke-4. Dengan demikian Pandawa dan Kurawa mempersiapkan
diri menuju medan pertempuran. Masing-masing pihak diberikan instruksi
pertempuran yang akan datang; pihak Kurawa oleh Bhīsma dan pihak
Pandawa oleh Dhrtadyumna, putra Drupada.
4.
Bhismaparwa
Ketika
peperangan akan dimulai kembali, Arjuna maju sampai di tengah-tengah kedua
barisan tempur dan meminta Krsna untuk berhenti di sana. Ketika melihat para
saudaranya, bekas guru dan orang-orang yang dikenalnya berada di pihak lawan,
ia terharu dan bingung hingga ia ingin mengundurkan diri. Namun Krsna dapat
mengurungkan niat Arjuna dengan memberikan nasihat atau wejangan. Akhirnya ia
siap mengangkat senjata dan bertempur. Sebelum memulai, ia melihat Yudhistira
meletakkan senjatanya, berjalan kaki menuju barisan Kurawa lalu diikutinya
bersama saudara-saudaranya. Mereka memberi hormat kepada bekas guru-gurunya,
memohon restu dan meminta maaf.
Hari
berikut pertempuran berlangsung tak menentu. Khususnya Bhīsma, ia memperlihatkan kedahsyatannya hingga Krsna mau campur
tangan dan membunuhnya tapi ditahan oleh Arjuna. Pada hari ke-10 Bhīsma gugur oleh hujan anak panah, badannya tidak jatuh ke
tanah melainkan terbaring pada semacam ranjang anak panah yang menembus dari
seluruh tubuhnya. Sebelumnya ia diberi anugerah oleh dewa dapat menentukan
kematiannya sendiri. Ia memilih tetap terbaring di atas ranjang anak panah (saratalpa).
Pandawa dan Kurawa merasa terpukul dan pilu, resi Nārada turun dari surga
mengunjungi Bhīsma dan
menyanyikan pujiannya.
5.
Āsramawāsaparwa
Setelah
semua anaknya gugur, Dhrtarāstra menetap di keraton Yudhistira. Ia merasa jemu hidup
lebih lama lagi dan ingin mengakhirinya dengan jalan puasa serta mengundurkan
diri ke hutan. Permintaan itu ditolak Yudhistira, lalu muncul Byāsa mendesaknya
untuk menuruti permintaan sang raja. Sebelum berangkat, Dhrtarāstra meminta
izin mengadakan upacara pemakaman bagi mereka yang sudah meninggal. Dhrtarāstra berangkat
ditemani Gandharī, Widura, Sānjaya serta Kuntī. Mereka
meginap di pertapaan Byāsa.
Beberapa
tahun kemudian Pandawa beserta para istri mengunjngi pertapaan Byāsa, di sana
mereka melihat keadaan para pendahulunya akibat tapa brata seperti orang
meninggal. Dua tahun setelah kunjungannya, Nārada muncul memberitahukan bahwa ,
Dhrtarāstra, Gandharī, Widura dan Kuntī telah meninggal akibat
kebakaran hutan .
6.
Mosalaparwa
Pada
suatu hari suku Yadu dikunjungi 3 orang bijak yang kemudian dijadikan sebagai
sasaran gurauan mereka. Sāmba, putra Krsna, diberi
pakaian seperti putri lalu memohon pada rsi agar
diperkenankan mengndung seorang anak. Para rsi marah dan
mengutuknya, ia akan melahirkan sebatang besi yang akan memusnahkan seluruh
suku Yadu kecuali Krsna dan Baladewa. Esoknya tongkat itu keluar dari tubuh
Sāmba, mereka menghancurkan tongkat itu hingga menjadi debu dan menaburkannya
di laut tapi dari debu itu tumbuh semacam padang buluh.
Suatu
hari para Yadu berziarah ke sebuah tempat keramat di pantai, tapi disana
terjadi sengketa yang hebat. Untuk memisahkan mereka, Krsna mencabut sebatang
buluh yang kemudian berubah menjadi tongkst besi. Hal tersebut diikuti oleh
orang-orang Yadu lainnya kemudian mereka saling membunuh dengan memukul satu
sama lain. Hanya para wanita, anak-anak, Krsna dan
Baladewa yang selamat.
7.
Prasthānikaparwa
Berita
musnahnya para Yadu sampai ke Yudhistira, ia bersama adik-adiknya meninggalkan
ibukota menuju hutan serta mengadakan upacara pemakaman bagi mereka yang sudah
meninggal lalu mengangkat Parikesit menjadi raja Hāstina.
Kelima
saudara beserta Drupadī diikuti seekor anjing meningalkan istana. Dalam
perjalanan mereka berjumpa dengan dewa Agni yang memerintahkan Arjuna
melemparkan senjatanya ke laut. Mereka sampai di Himālaya kemudian padang gurun
sambil terus-menerus bertapa pemusnahan (bhrastayoga). Yang
pertama kehilangan tenaga adalah Drupadī, diikuti Sahadewa, Nakula,
lalu Arjuna kemudian Bhima, hanya Yudhistir yang masih tinggal. Lalu Indra
muncul dan mengajaknya ke surga namun ditolaknya kecuali anjing yang setia
mengikutinya ikut juga.
8.
Swargarhanaparwa
Setibanya
di surga, ia melihat para Kurawa dan sekutunya bersinarkan cahaya ilahi tapi
tak seorang Pandawa kelihatan. Ia terperanjat dan merasa itu semua tidak adil,
lalu ia ingin mencari saudaranya sendiri. Dalam pencariannya ia ditemani seorang
pandu, utusan dewa, sampai di suatu tempat yang mengerikan. Di sana ia
menjumpai saudar-saudara dan anggota keluarganya yang lain. Ia memutuskan untuk
tinggal di tempat itu bersama saudara-saudaranya. Kemudian para dewa turun ke
neraka yang seketika menjadi surga. Sesudah itu, mereka semua menuju sungai
Ganggā guna menyucikan diri.
9.
Uttarakānda
Ini
bukan merupakan versi salah satu parwa mengenai epos Mahābhārata
melainkan epos Rāmāyana.
Sesudah
mengalahkan Rawana(Dasamukha), Rāma pulang ke Ayodhyā,lalu sejumlah rsi
mengunjunginya. Seorang dintaranya bernama Agastya menuturkan riwayat Rāwana
mulai dari silsihnya(keluarga), kelakuan hingga tindakannya yang sering
menyebarkan ketakutan dan kehancuran dimana-mana, termasuk melawan para dewa.Setelah
tamat tuturan itu, para rsi kembali ke surga diikuti para raja yang telah datang
memberikan hormat, pulang juga. Demikian para sekutu, satu per satu mohon diri.
Rāma
mendengar desas-desus bahwa istrinya tak pantas lagi mendampinginya selaku
ratu. Untuk mengakhiri tuduhan itu, ia memerintahkan Leksmana untuk
menemani S̄itā ke pertapaan Bālmīki dan
setibanya di sana, memberitahukan pada S̄itā bahwa ia tidak boleh
kembali ke Ayodhyā. Lalu pada suatu malam, S̄itā melahirkan
putera kembar bernama Kusa dan
Lawa.
Suatu
hari Rāma menyusun rencana untuk mempersembahkan korban agung bernama Aswamedha, kaum brahmin di seluruh pelosok negara diundang. Ketika
upacara-upacara itu berjalan setengah, muncul Bālmīki beserta
kedua muridnya Kusa dan Lawa. Atas perintah gurunya, Kusa dan Lawa
medendangkan kisah Rāma. Dengan cepat Rāma tersadar bahwa kedua pemuda itu
adalah anaknya. Ia meminta Bālmīki untuk membawa S̄itā ke hadapan semua orang agar
ia bersumpah menegaskan kesuciannya. S̄itā meminta dewi bumi menjadi
saksi agar ditelan bumi bila selama ini kesetiaannya pada Rām tak pernah goyah.
Dewi itu muncul dan S̄itā turun ke erut bumi, Rāma sedih dan marah pada dewi
bumi.
Setelah
pemerintahannya selama 10.000 tahun, dewa maut-Kāla datang sebagai brahmin
memberitahukan bahwa waktunya telah tiba menjelma kembali sebagai Wisnu dan pulang
ke surga. Lalu Rāma meninggalkan pemerintahannya beserta keluarganya, berangkat
sungai Sarayū, para dewa menampakkan diri dan Rāma menjelma kembali
sebagai Wisnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar