Minggu, 07 Juli 2013

Nukilan Kalangwan Bag.1 (ringkas)



Bab: SASTRA PARWA
 
Parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian-bagian epos-epos dalam bahasa Sansekerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli dalam bahasa Sansekerta, kutipan-kutipan tersebut tersebar di seluruh teks parwa itu. Diperkirakan Ādiparwa, Bhismaparwa, Uttarakānda ditulis pada waktu yang sama seperti Wirātaparwa, sebab dalm keempat parwa itu nama raja sama yakni Sri Dharmawangsa Tĕguh Anantawikramottunggadewa. Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama, inipun menjadikan kita rancu dalam menentukan tanggal penulisannya sebagai akibat dari kesalahan dan keteledoran penyalinan yang salah oleh juru-juru salin.


1.      Ādiparwa
Merupakan suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab pertama Mahābhārata. Di sini berisikan kisah upacara pengorbanan oleh Janamejaya, kisah para Naga dan Garuda dan kisah Pandawa dan Kurawa.
Upacara Korban
Alkisah, Raja Janamejaya putra Parikesit, cucu Abhimanyu, memerintahkan para pendeta istana untuk mempersiapkan upacara persembahan korban (untuk memusnahkan para Naga) yang akan dipimpin oleh Uttangka, seorang brahmin yang memiliki dendam pada Taksaka, raja para naga, yang telah merampas sepasang subangnya sekaligus penyebab kematian Raja Parikesit, ayah Janamejaya. Raja Parikesit mangkat setelah digigit Taksaka yang menyamar menjadi ulat buah jambu sebagai perwujudan kutukan dari anak seorang brahmin yang dijumpainya saat berburu. Hal tersebut yang membuat Janamejaya ingin memusnahkan para Naga.

Para Naga sadar akan bahaya yang menimpa mereka dari Raja Janamejaya lewat upacara korbannya, merekapun memohon bantuan kepada Brahmā. Ketika upacara itu dimulai datanglah para Naga dan ular, mereka tidak mampu pada kesaktian mantra-mantra dan jatuh ke api korban. Saa itulah Āstika, anak seorang brahmin, muncul dan membujuk hati raja. Akhirnya raja mengabulkan permohonan brahmin itu dan mengakhiri upacara itu, Taksakapun selamat.
Para Naga dan Sang Garuda
Para Naga diturunkan oleh Kadrū, salah seorang diantara 29 istri Kasyāpa sedangkan Winata, seorang istri lain melahirkan burung Garuda. Suatu saat perdebatan muncul diantara keduanya mengenai warna kuda Uccaihsrawa dengan pertaruhan: yang terbkti kalah akan menjadi hamba yang lain. Dengan cara licik, Kadrū memenangkan pertaruhan, yakni mengubah warna Uccaihsrawa dengan bisa anaknya(naga). Winatapun menjadi hamba, ia memerintahkan Garuda untuk menengok para Naga yang licik itu. Ia bisa membebaskan ibunya apabila ia menyerahkan air amrta yang dimiliki dewa. Garuda berhasil membawa air amrta dengan syarat ia menjadi kendaraan dari Dewa Wisnu. Air amrta telah diserahkan kepada para Naga sebagai tebusan, lalu air itu direbut kembali oleh para dewa dari tangan para Naga dengan akal.
Pandawa dan Kurawa
Merupakan bagian kedua Ādhiparwa, diawali dengan kisah beberapa leluhur Pandawa dan Kurawa: kelahiran Byāsa(Krsna) atau Dwaipāyana, anak seorang brahmin Parāsara dan Durgandhīni; kisah Sakuntala dan anaknya Bhārata; kelahiran Dewabrata(Bhīsma) yang bersumpah untuk tidak kawin. Suatu hari Bhīsma memenangkan sebuah sayembara dan memperoleh putri Raja Kāsi yakni Ambā, Ambikā dan Ambilikā. Ambā mati terkena panah Bhīsma tanpa sengaja lalu kedua adiknya diperistri oleh kedua adik Bisma, Citranggāda dan Citrawīrya. Yang kemudian menurunkan Dhrtarāstra (buta), Pāndu dan Widura. Dhrtarāstra menikahi Gandharī dan melahirkan 100 anak yang dikenal dengan Kurawa. Pāndu menikahi Kuntī dan Madrī, dari Kuntī dilahirkan Yudhistira, Bhima dan Arjuna sedangkan dari Madrī dilahirkan Nakula dan Sahadewa.
Pandawa dan Kurawa bersama-sama diasuh di Hāstina tempat kediaman raja Dhrtarāstra oleh Bhīsma dan Drona. Antara kedua kelompok itu sering terjadi perselisihan. Saat di sebuah pertandingan diantara keduanya, Karnapun hadir di dalamnya, di tempat itu juga Karna diangkat oleh Duryudhana sebagai Raja Angga. Kurawa tak henti-hentinya mencoba menyingkirkan Pandawa namun kerap dilanda kegagalan.
Setelah selamat dari kebakaran sebuah rumah, Pandawa mengembara dan menyamar menjadi sejumlah brahmin. Dalam pengembaraan, Bhima membunuh raksasa Hidimbi dan mengawini adiknya Hidimbi(Arimbi) kemudian dikaruniai putra bernama Gatotkaca. Mereka juga ikut dlam sebuah sayembara yang diadakan Raja Drupada, Arjuna berhasil merebut putri Drupada, Drupadī, yang kemudian menjadi istri kelima bersaudara itu.
Suatu hari di antara mereka terjadi perselisihan secara tidak sengaja yang membuat Arjuna mengembara selama 12 tahun dan dalam perjalanannya ia memperistri Subhadrā beranakan Abhimanyu.

2.      Wirātaparwa
Bagian keempat epos Mahābhārata. Berisikan kisah pengembaraan Pandawa, Kunti dan Drupadī di hutan yang kemudian menawarkan jasa mereka kepada Matsyapati, raja Wirāta, dengan nama samaran Yudhistira sebagai brahmin bernama Kangka, Bhima sebagai juru masak dan ahli gulat bernama Ballawa, Arjuna sebagai sida-sida bernama Wrhannala, Nakula sebagai kusir bernama Granthika, Sahadewa sebagai seorang gembala bernama Tantipala dan Drupadī sebagai pelayan pribadi ratu Sudesnā bernama Serandhri. Semua berjalan sesuai rencana tanpa diketahui identitas mereka. Kemudian Kīcaka terbakar nafsu asmara terhadap Drupadī dan menginginkannya, ia dibantu oleh ratu. Drupadī meminta tolong kepada Bhima kemudian Bhima membunuh Kīcaka beserta keluarganya. Akibatnya Drupadī dikeluarkan dari istana.
Suatu saat Kurawa melakukan penyerbuan dan raja Wirāta tertangkap namun diselamatkan oleh Pandawa. Kabar tertangkapnya raja Wirāta sampai ke telinga Uttara, putra sang raja lalu ia berangkat bersama Wrhannala(Arjuna) sebagai pengemudi kereta perangnya. Setelah pertempuran, mereka kembali ke Wirāta namun Arjuna tidak ikut masuk kota. Setelah 3 hari Pandawa menampakan diri sebagai ksatriya dan menerangkan semua yang telah terjadi. Raja berterima kasih lalu mendesak agar Yudhistira naik tahta dan Arjuna menerima Uttarī. Keduanya menolak dan Arjuna mengusulkan Abhimanyu menggantikan dirinya untuk menikahi Uttarī.

3.      Udyogaparwa
Pandawa dan Kurawa mempersiapkan diri dan mencari sekutu untuk menghadapi pertempuran besar. Sebelum terjadinya pertempuran, masing-masing pihak mengadakan perundingan di Hāstina serta para rsi turun dari surga turut di dalamnya. Di pihak Pandawa, Krsna bersama Sātyaki mengusulkan untuk dicapainya pemecahan secara damai namun Duryudhana keras kepala dan bersikeras dan langsung meninggalkan bangsal agung.
Krsna kembali ke Wirāta bersama Sātyaki, Krsna melaporkan kegagalannya. Menurut ajaran politik tradisional terdapat 4 cara menghadapi musuh: sāma, bheda, dāna dan danda. Ketiga jalan pertama telah ditempuh namun gagal, akhirnya tinggal jalan ke-4. Dengan demikian Pandawa dan Kurawa mempersiapkan diri menuju medan pertempuran. Masing-masing pihak diberikan instruksi pertempuran yang akan datang; pihak Kurawa oleh Bhīsma dan pihak Pandawa oleh Dhrtadyumna, putra Drupada.

4.      Bhismaparwa
Ketika peperangan akan dimulai kembali, Arjuna maju sampai di tengah-tengah kedua barisan tempur dan meminta Krsna untuk berhenti di sana. Ketika melihat para saudaranya, bekas guru dan orang-orang yang dikenalnya berada di pihak lawan, ia terharu dan bingung hingga ia ingin mengundurkan diri. Namun Krsna dapat mengurungkan niat Arjuna dengan memberikan nasihat atau wejangan. Akhirnya ia siap mengangkat senjata dan bertempur. Sebelum memulai, ia melihat Yudhistira meletakkan senjatanya, berjalan kaki menuju barisan Kurawa lalu diikutinya bersama saudara-saudaranya. Mereka memberi hormat kepada bekas guru-gurunya, memohon restu dan meminta maaf.
Hari berikut pertempuran berlangsung tak menentu. Khususnya Bhīsma, ia memperlihatkan kedahsyatannya hingga Krsna mau campur tangan dan membunuhnya tapi ditahan oleh Arjuna. Pada hari ke-10 Bhīsma gugur oleh hujan anak panah, badannya tidak jatuh ke tanah melainkan terbaring pada semacam ranjang anak panah yang menembus dari seluruh tubuhnya. Sebelumnya ia diberi anugerah oleh dewa dapat menentukan kematiannya sendiri. Ia memilih tetap terbaring di atas ranjang anak panah (saratalpa). Pandawa dan Kurawa merasa terpukul dan pilu, resi Nārada turun dari surga mengunjungi Bhīsma dan menyanyikan pujiannya.

5.      Āsramawāsaparwa
Setelah semua anaknya gugur, Dhrtarāstra menetap di keraton Yudhistira. Ia merasa jemu hidup lebih lama lagi dan ingin mengakhirinya dengan jalan puasa serta mengundurkan diri ke hutan. Permintaan itu ditolak Yudhistira, lalu muncul Byāsa mendesaknya untuk menuruti permintaan sang raja. Sebelum berangkat, Dhrtarāstra meminta izin mengadakan upacara pemakaman bagi mereka yang sudah meninggal. Dhrtarāstra berangkat ditemani Gandharī, Widura, Sānjaya serta Kuntī. Mereka meginap di pertapaan Byāsa.
Beberapa tahun kemudian Pandawa beserta para istri mengunjngi pertapaan Byāsa, di sana mereka melihat keadaan para pendahulunya akibat tapa brata seperti orang meninggal. Dua tahun setelah kunjungannya, Nārada muncul memberitahukan bahwa , Dhrtarāstra, Gandharī, Widura dan Kuntī telah meninggal akibat kebakaran hutan .

6.      Mosalaparwa
Pada suatu hari suku Yadu dikunjungi 3 orang bijak yang kemudian dijadikan sebagai sasaran gurauan mereka. Sāmba, putra Krsna, diberi pakaian seperti putri lalu memohon pada rsi agar diperkenankan mengndung seorang anak. Para rsi marah dan mengutuknya, ia akan melahirkan sebatang besi yang akan memusnahkan seluruh suku Yadu kecuali Krsna dan Baladewa. Esoknya tongkat itu keluar dari tubuh Sāmba, mereka menghancurkan tongkat itu hingga menjadi debu dan menaburkannya di laut tapi dari debu itu tumbuh semacam padang buluh.
Suatu hari para Yadu berziarah ke sebuah tempat keramat di pantai, tapi disana terjadi sengketa yang hebat. Untuk memisahkan mereka, Krsna mencabut sebatang buluh yang kemudian berubah menjadi tongkst besi. Hal tersebut diikuti oleh orang-orang Yadu lainnya kemudian mereka saling membunuh dengan memukul satu sama lain. Hanya para wanita, anak-anak, Krsna dan Baladewa yang selamat.

7.      Prasthānikaparwa
Berita musnahnya para Yadu sampai ke Yudhistira, ia bersama adik-adiknya meninggalkan ibukota menuju hutan serta mengadakan upacara pemakaman bagi mereka yang sudah meninggal lalu mengangkat Parikesit menjadi raja Hāstina.
Kelima saudara beserta Drupadī diikuti seekor anjing meningalkan istana. Dalam perjalanan mereka berjumpa dengan dewa Agni yang memerintahkan Arjuna melemparkan senjatanya ke laut. Mereka sampai di Himālaya kemudian padang gurun sambil terus-menerus bertapa pemusnahan (bhrastayoga). Yang pertama kehilangan tenaga adalah Drupadī, diikuti Sahadewa, Nakula, lalu Arjuna kemudian Bhima, hanya Yudhistir yang masih tinggal. Lalu Indra muncul dan mengajaknya ke surga namun ditolaknya kecuali anjing yang setia mengikutinya ikut juga.

8.      Swargarhanaparwa
Setibanya di surga, ia melihat para Kurawa dan sekutunya bersinarkan cahaya ilahi tapi tak seorang Pandawa kelihatan. Ia terperanjat dan merasa itu semua tidak adil, lalu ia ingin mencari saudaranya sendiri. Dalam pencariannya ia ditemani seorang pandu, utusan dewa, sampai di suatu tempat yang mengerikan. Di sana ia menjumpai saudar-saudara dan anggota keluarganya yang lain. Ia memutuskan untuk tinggal di tempat itu bersama saudara-saudaranya. Kemudian para dewa turun ke neraka yang seketika menjadi surga. Sesudah itu, mereka semua menuju sungai Ganggā guna menyucikan diri.

9.      Uttarakānda
Ini bukan merupakan versi salah satu parwa mengenai epos Mahābhārata melainkan epos Rāmāyana.
Sesudah mengalahkan Rawana(Dasamukha), Rāma pulang ke Ayodhyā,lalu sejumlah rsi mengunjunginya. Seorang dintaranya bernama Agastya menuturkan riwayat Rāwana mulai dari silsihnya(keluarga), kelakuan hingga tindakannya yang sering menyebarkan ketakutan dan kehancuran dimana-mana, termasuk melawan para dewa.Setelah tamat tuturan itu, para rsi kembali ke surga diikuti para raja yang telah datang memberikan hormat, pulang juga. Demikian para sekutu, satu per satu mohon diri.
Rāma mendengar desas-desus bahwa istrinya tak pantas lagi mendampinginya selaku ratu. Untuk mengakhiri tuduhan itu, ia memerintahkan Leksmana untuk menemani S̄itā ke pertapaan Bālmīki dan setibanya di sana, memberitahukan pada S̄itā bahwa ia tidak boleh kembali ke Ayodhyā. Lalu pada suatu malam, S̄itā melahirkan putera kembar bernama Kusa dan Lawa.
Suatu hari Rāma menyusun rencana untuk mempersembahkan korban agung bernama Aswamedha, kaum brahmin di seluruh pelosok negara diundang. Ketika upacara-upacara itu berjalan setengah, muncul Bālmīki beserta kedua muridnya Kusa dan Lawa. Atas perintah gurunya, Kusa dan Lawa medendangkan kisah Rāma. Dengan cepat Rāma tersadar bahwa kedua pemuda itu adalah anaknya. Ia meminta Bālmīki untuk membawa S̄itā ke hadapan semua orang agar ia bersumpah menegaskan kesuciannya. S̄itā meminta dewi bumi menjadi saksi agar ditelan bumi bila selama ini kesetiaannya pada Rām tak pernah goyah. Dewi itu muncul dan S̄itā turun ke erut bumi, Rāma sedih dan marah pada dewi bumi.
Setelah pemerintahannya selama 10.000 tahun, dewa maut-Kāla datang sebagai brahmin memberitahukan bahwa waktunya telah tiba menjelma kembali sebagai Wisnu dan pulang ke surga. Lalu Rāma meninggalkan pemerintahannya beserta keluarganya, berangkat sungai Sarayū, para dewa menampakkan diri dan Rāma menjelma kembali sebagai Wisnu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar