---Semarang,2011---
Kajian
Semantik: Wanita dan Ungkapan Tradisional
Rofika Dwi P
(2601409115)
1.
Latar
Belakang
Masyarakat
Jawa memiliki kultur yang kaya akan nilai-nilai luhur. Di dalamnya terdapat
seperangkat norma atau kaidah-kaidah yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan manusia, meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari lahir
hingga mati, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari ujung kaki hingga ujung
kepala. Semua ada adabnya, termasuk bagaimana kita berjalan.
Wong Jawa nggoning semu
merupakan ungkapan dalam kultur Jawa yang berarti ‘orang Jawa tempatnya
kesemuan’. Semu merujuk pada
kepalsuan. Namun ungkapan tersebut tidak bermakna negatif, bukan berarti orang
Jawa itu pemalsu yang merugikan. Istilh tersebut mengandung makna bahwa
masyarakat Jawa dalam kulturnya berada dalam kerangka simbolisme. Sehingga
segala sesuatu yang ingin disampaikan pada seseorang tidak secra langsung,
namun melalui pasemon dengan ungkapan-ungkapan
tertentu.
Ungkapan-ungkapan
tradisional Jawa berisikan nasihat-nasihat atau nilai-nilai moralitas. Banyak
sekali ungkapan-ungkapan tradisional yang ‘dialokasikan’ untuk wanita-wanita
Jawa. Nasihat atau ‘tata cara’ bagaimana seorang wanita Jawa berbicara,
bagaimana seorang wanita Jawa berperilaku, bagaimana wanita Jawa dalam berumah
tangga, dan lain sebagainya telah tertuang dalam ungkapan-ungkapan tradisional
seperti idiom dan peribahasa. Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut pastilah
memiliki makna dan tujuan. Yang pasti bertujuan positif demi terciptanya suatu
harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan manusia itu sendiri juga alam.
Dewasa
ini, ungkapan-ungkapan tersebut jarang ditemukan seiring dengan kecanggihan
teknologi yang berkembang. Mungkin akan banyak dijumpai pada wilayah yang masih
dekat dengan lingkungan kraton yang merupakan pusat budaya. Sedangkan yang
berada di luar pengaruh tersebut jarang ditemukan.
2.
Landasan
Teori
Semantik
(dari bahasa Yunani “σημαντικός” – semantikos [1] [2]) adalah studi tentang
makna. Itu biasanya berfokus pada hubungan antara penanda, seperti kata-kata,
frase, tanda dan simbol, dan apa yang mereka perjuangkan.
Kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda
atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog
Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian
disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang
mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau
tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi,
gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Membicarakan
perihal makna, menurut Harimurti Kridalaksana makna adalah maksud
pembicara; hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa
dan alam di luar bahasa atau ajaran dan semua hal yang ditunjukannya.
Menurut
Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut
pandang. Berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan
adanya makna idiomatik dan peribahasa.
Idiom (Latin: idioma,
"properti khusus", Yunani: ἰδίωμα
- idiōma, "fitur khusus, "ungkapan khusus") adalah ekspresi, kata, atau frase dengan makna kiasan
yang dipahami dalam kaitannya dengan penggunaan umum bahwa ekspresi yang
terpisah dari arti harfiah atau definisi dari kata-kata yang dibuat. Berbeda
dengan idiom, peribahasa merupakan suatu
kiasan bahasa yang berupa kalimat atau kelompok kata yang bersifat padat,
ringkas dan berisi tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan, perumpamaan, prinsip
dan aturan tingkah laku. Makna peribahasa dapat ditelusuri atau dilacak dari
makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya
sebagai peribahasa.
Budaya
relatif Idiom umumnya metafora sehari-hari. Istilah yang memerlukan beberapa
pengetahuan dasar, informasi, atau pengalaman, untuk menggunakan hanya dalam
budaya, di mana pihak percakapan harus memiliki referensi budaya umum. Oleh
karena itu, idiom tidak dianggap bagian dari bahasa, tetapi bagian dari budaya.
Sebagai budaya biasanya terlokalisir, idiom seringkali tidak berguna di luar
konteks lokal mereka, bagaimanapun, idiom beberapa dapat lebih universal
daripada yang lain, dapat dengan mudah diterjemahkan, dan makna metaforis dapat
disimpulkan.
3.
Pembahasan
Kultur
Jawa menganut paham patrilinealisme
dimana prialah yang menjadi tonggak utama. Hal tersebut menunjukkan kedudukan
wanita berada di bawah pria. Kultur Jawa memandang wanita sebagai makhluk yang
lemah dan harus dilindungi. Walaupu begitu, wanita memiliki kedudukan yang
mulia, luhur, karena dari wanitalah trah,
keturunan lahir di kehidupan nyata.
Karena
posisi wanita dengan kodratnya melahirkan insan baru, melahirkan generasi yang
diharapkan kelak sebagai pewaris nilai-nilai luhur dari budaya Jawa, maka
banyak ungkapan-ungkapan tradisional yang mengatur tata laku kehidupan wanita
Jawa. Namun seringkali ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pepali atau pantangan, apa-apa saja yang
tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita.
Seiring
kemajuan jaman, ungkapan-ungkapan tersebut mulai menghilang. Walaupun begitu
masih terdapat beberapa ungkapan tradisional seperti idiom dan peribahasa yang
dapat dijumpai.
3.1. Ungkapan
tradisional untuk wanita secara umum.
Seiring
tergesernya budaya lokal dengan budaya manca, sebagai kota metropolitan, di
Semarang dapat dijumpai ungkapan tersebut, diantaranya:
-
Wong
wadon aja mangan ing tengah lawang mundak anake mbesuk lambene ndhower.
-
Yen
mangan ora kena ajang cowek mundak mbesuk yen hajat nganten udan deres.
-
Yen
lungguh aja sok lambaran sandhal mundak dipaeko liyan.
-
Wong
prawan aja seneng mangan swiwi mundak dadi tampikan wong lanang.
-
Yen
nyapu kudu tutug, yen mandeg dalan mundak lamarane mbesuk mandeg dalan.
Dilihat dari
gramatikalnya, kalimat-kalimat tersebut berterima. Namun apabila dilihat dari
hubungan maknanya, sangat tidak berterima. Apa hubungannya makan di tengah
pintu dengan anak turunnya kelak. Apa hubungannya makan di cobek dengan
syukuran nikah kelak. Apa hubungannya duduk di atas sandal dengan fitnahan. Apa
hubungannya memakan sayap ayam dengan disia-siakan pria. Apa hubungannya
menyapu dengan pinangannya kelak.
Secara logis, kalimat
tersebut tidak dapat dirunut penalarannya. Secara filosofis antar klausanya
dirasa juga tidak ada kaitan/hubungan diantaranya. Ungkapan tersebut sebenarnya
lebih merujuk pada adab bagaimana seorang wanita berperilaku yang dirasa
didasari atas nilai etika dan estetika.
Makan di tengah pintu,
makan beralaskan cobek, menduduki sandal, menyapu berhenti di tengah jalan,
kesemuanya menyimpang dari etika dan dirasa tidak indah. Masa seorang wanita
yang seharusnya berperilaku indah, anggun malah bertindak seperti itu. Sehingga
orang tua terdahulu menjadikan ungkapan-ungkapan tradisional tersebut sebagai pagar pembatas. Dengan adanya motif kuwalat menjadikan wanita berperilaku
dengan semestinya.
3.2. Ungkapan
tradisional untuk wanita dalam berumahtangga.
Sebelum dan setelah
berkeluarga pun juga terdapat ungkapan-ungkapan yang melekat pada wanita,
diantaranya:
-
Seorang wanita jangan
hanya mau menjadi kanca wingking.
Idiom
yang diungkapkan orang tua kepada anak gadisnya tersebut agar kelak anaknya
tidak hanya menjadi ‘teman di belakang’
yang hanya bertugas mencuci, memasak, dan sebagainya. Namun sebelum berumah
tangga, ia harus memiliki bekal endidikan yang cukup sehingga kelak dapat
menjadi wanita ‘terhormat’ di mata suami dan keuarga.
-
Yen
wis omah-omah aja seneng nyilihake anggon-anggon klambi, mundak bojone diganggu
liyan.
Hampir
sama dengan point sebelumya, pepali
tersebut kurang bisa diterima secara logis.
-
Seorang wanita tidak
boleh kendho tapihe.
Seorang
wanita tidak boleh ‘kendor jariknya’.
Tapih atau jarik merupakan simbol kehormatan wanita, sehingga wanita harus
menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai wanita. Wanita tidak boleh lemer, mudah digoda oleh pria selain
suami, harus berpendirian.
-
Jangan sampai menjadi satru mungwing cengklakan.
Wanita
jangan sampai menjadi musuh bagi orang tua. Bila anak (gadis) tidak
berhati-hati dalam bertindk ketika bergaul dengan pria, ia bisa terenggut
kehormatannya. Atau pada kasus lain, ketika anak gadisnya mulai tertarik dengan
lawan jenis hingga ia tidak mengindahkan perkataan orang tua. Hal-hal
tersebutlah yang menjadikan anak perempuan musuh bagi orang tua.
-
Seorang istri harus momot mengku hamemangkat.
Dalam
rumah tangga, istri digambarkan swarga
nunut neraka katut. Berdasar leksem berarti ‘surga menumpang neraka ikut’.
Kalimat tersebut bermakna apabila suami mendapat untung istri pun akan
merasakan keuntungan tersebut. Sebaliknya apabila suami menderita istri juga
akan merasakan penderitaan tersebut. oleh karena itu, seorang istri harus momot mengu hamemangkat. Momot (memuat, menampung), berarti bahwa
wanita harus mau menerima segala sesuatu yang ada pada suami dan yang diberikan
oleh suami. Mengku berarti wanita
harus memahami dan menerima segala kekurangan suami dengan lapang dada. Hamemangkat (mengangkat, menjunjung)
berarti wanita harus menjaga nama baik suami dan keluarganya.
Ungkapan
momot mengku hamemangkat hampir
semakna dengan ungkapan mikul dhuwur
mendhem jero.
4.
Simpulan
Ungkapan-ungkapan
tradisional seperti idiom dan peribahasa kerap digunakan oleh masyarakat yang
berisikan nilai-nilai moralitas, nasehat untuk tiap individunya, khususnya
wanita. Namun seringkali
ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pepali
atau pantangan, apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita.
Dimana pepali tersebut dilihat dari
gramatikalnya berterima. Namun apabila dilihat dari hubungan maknanya, sangat
tidak berterima, tidak dapat dirunut penalarannya.
Namun
untuk yang berbentuk peribahasa dirasa secara gramatikal berteriman dan
pemaknaannya mudah. Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau
dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli
dengan maknanya sebagai peribahasa.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Widayat,
Afendy dan Suwardi. Idiom Seksualitas
bagi Wanita Jawa. Yogyakarta.
Wikipedia.
2011. Idiom. Available at
id.wikipedia.org.
----------. 2011. Semantics. Available at
en.wikipedia.org.
Wordpress.
2009. Definisi Idiom dan Peribahasa dalam
Bahasa Indonesia. Available at wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar