Minggu, 07 Juli 2013

Kajian Semantik: Wanita dan Ungkapan Tradisional



---Semarang,2011--- 

Kajian Semantik: Wanita dan Ungkapan Tradisional
Rofika Dwi P (2601409115)


1.    Latar Belakang
Masyarakat Jawa memiliki kultur yang kaya akan nilai-nilai luhur. Di dalamnya terdapat seperangkat norma atau kaidah-kaidah yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia, meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari lahir hingga mati, dari bangun tidur hingga tidur lagi, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Semua ada adabnya, termasuk bagaimana kita berjalan.
Wong Jawa nggoning semu merupakan ungkapan dalam kultur Jawa yang berarti ‘orang Jawa tempatnya kesemuan’. Semu merujuk pada kepalsuan. Namun ungkapan tersebut tidak bermakna negatif, bukan berarti orang Jawa itu pemalsu yang merugikan. Istilh tersebut mengandung makna bahwa masyarakat Jawa dalam kulturnya berada dalam kerangka simbolisme. Sehingga segala sesuatu yang ingin disampaikan pada seseorang tidak secra langsung, namun melalui pasemon dengan ungkapan-ungkapan tertentu.

Ungkapan-ungkapan tradisional Jawa berisikan nasihat-nasihat atau nilai-nilai moralitas. Banyak sekali ungkapan-ungkapan tradisional yang ‘dialokasikan’ untuk wanita-wanita Jawa. Nasihat atau ‘tata cara’ bagaimana seorang wanita Jawa berbicara, bagaimana seorang wanita Jawa berperilaku, bagaimana wanita Jawa dalam berumah tangga, dan lain sebagainya telah tertuang dalam ungkapan-ungkapan tradisional seperti idiom dan peribahasa. Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut pastilah memiliki makna dan tujuan. Yang pasti bertujuan positif demi terciptanya suatu harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan manusia itu sendiri juga alam.
Dewasa ini, ungkapan-ungkapan tersebut jarang ditemukan seiring dengan kecanggihan teknologi yang berkembang. Mungkin akan banyak dijumpai pada wilayah yang masih dekat dengan lingkungan kraton yang merupakan pusat budaya. Sedangkan yang berada di luar pengaruh tersebut jarang ditemukan.
2.    Landasan Teori
Semantik (dari bahasa Yunani “σημαντικός” – semantikos [1] [2]) adalah studi tentang makna. Itu biasanya berfokus pada hubungan antara penanda, seperti kata-kata, frase, tanda dan simbol, dan apa yang mereka perjuangkan.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Membicarakan perihal makna, menurut Harimurti Kridalaksana makna adalah maksud pembicara; hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau ajaran dan semua hal yang ditunjukannya.
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna idiomatik dan peribahasa.
Idiom (Latin: idioma, "properti khusus", Yunani: δίωμα - idiōma, "fitur khusus, "ungkapan khusus") adalah  ekspresi, kata, atau frase dengan makna kiasan yang dipahami dalam kaitannya dengan penggunaan umum bahwa ekspresi yang terpisah dari arti harfiah atau definisi dari kata-kata yang dibuat. Berbeda dengan idiom, peribahasa merupakan suatu kiasan bahasa yang berupa kalimat atau kelompok kata yang bersifat padat, ringkas dan berisi tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan, perumpamaan, prinsip dan aturan tingkah laku. Makna peribahasa dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Budaya relatif Idiom umumnya metafora sehari-hari. Istilah yang memerlukan beberapa pengetahuan dasar, informasi, atau pengalaman, untuk menggunakan hanya dalam budaya, di mana pihak percakapan harus memiliki referensi budaya umum. Oleh karena itu, idiom tidak dianggap bagian dari bahasa, tetapi bagian dari budaya. Sebagai budaya biasanya terlokalisir, idiom seringkali tidak berguna di luar konteks lokal mereka, bagaimanapun, idiom beberapa dapat lebih universal daripada yang lain, dapat dengan mudah diterjemahkan, dan makna metaforis dapat disimpulkan.
3.    Pembahasan
Kultur Jawa menganut paham patrilinealisme dimana prialah yang menjadi tonggak utama. Hal tersebut menunjukkan kedudukan wanita berada di bawah pria. Kultur Jawa memandang wanita sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi. Walaupu begitu, wanita memiliki kedudukan yang mulia, luhur, karena dari wanitalah trah, keturunan lahir di kehidupan nyata.
Karena posisi wanita dengan kodratnya melahirkan insan baru, melahirkan generasi yang diharapkan kelak sebagai pewaris nilai-nilai luhur dari budaya Jawa, maka banyak ungkapan-ungkapan tradisional yang mengatur tata laku kehidupan wanita Jawa. Namun seringkali ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pepali atau pantangan, apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita.
Seiring kemajuan jaman, ungkapan-ungkapan tersebut mulai menghilang. Walaupun begitu masih terdapat beberapa ungkapan tradisional seperti idiom dan peribahasa yang dapat dijumpai.
3.1.  Ungkapan tradisional untuk wanita secara umum.
Seiring tergesernya budaya lokal dengan budaya manca, sebagai kota metropolitan, di Semarang dapat dijumpai ungkapan tersebut, diantaranya:
-          Wong wadon aja mangan ing tengah lawang mundak anake mbesuk lambene ndhower.
-          Yen mangan ora kena ajang cowek mundak mbesuk yen hajat nganten udan deres.
-          Yen lungguh aja sok lambaran sandhal mundak dipaeko liyan.
-          Wong prawan aja seneng mangan swiwi mundak dadi tampikan wong lanang.
-          Yen nyapu kudu tutug, yen mandeg dalan mundak lamarane mbesuk mandeg dalan.
Dilihat dari gramatikalnya, kalimat-kalimat tersebut berterima. Namun apabila dilihat dari hubungan maknanya, sangat tidak berterima. Apa hubungannya makan di tengah pintu dengan anak turunnya kelak. Apa hubungannya makan di cobek dengan syukuran nikah kelak. Apa hubungannya duduk di atas sandal dengan fitnahan. Apa hubungannya memakan sayap ayam dengan disia-siakan pria. Apa hubungannya menyapu dengan pinangannya kelak.
Secara logis, kalimat tersebut tidak dapat dirunut penalarannya. Secara filosofis antar klausanya dirasa juga tidak ada kaitan/hubungan diantaranya. Ungkapan tersebut sebenarnya lebih merujuk pada adab bagaimana seorang wanita berperilaku yang dirasa didasari atas nilai etika dan estetika.
Makan di tengah pintu, makan beralaskan cobek, menduduki sandal, menyapu berhenti di tengah jalan, kesemuanya menyimpang dari etika dan dirasa tidak indah. Masa seorang wanita yang seharusnya berperilaku indah, anggun malah bertindak seperti itu. Sehingga orang tua terdahulu menjadikan ungkapan-ungkapan tradisional tersebut sebagai pagar pembatas. Dengan adanya motif kuwalat menjadikan wanita berperilaku dengan semestinya.
3.2.  Ungkapan tradisional untuk wanita dalam berumahtangga.
Sebelum dan setelah berkeluarga pun juga terdapat ungkapan-ungkapan yang melekat pada wanita, diantaranya:
-          Seorang wanita jangan hanya mau menjadi kanca wingking.
Idiom yang diungkapkan orang tua kepada anak gadisnya tersebut agar kelak anaknya tidak hanya menjadi ‘teman di belakang’ yang hanya bertugas mencuci, memasak, dan sebagainya. Namun sebelum berumah tangga, ia harus memiliki bekal endidikan yang cukup sehingga kelak dapat menjadi wanita ‘terhormat’ di mata suami dan keuarga.
-          Yen wis omah-omah aja seneng nyilihake anggon-anggon klambi, mundak bojone diganggu liyan.
Hampir sama dengan point sebelumya, pepali tersebut kurang bisa diterima secara logis.
-          Seorang wanita tidak boleh kendho tapihe.
Seorang wanita tidak boleh ‘kendor jariknya’. Tapih atau jarik merupakan simbol kehormatan wanita, sehingga wanita harus menjaga kehormatan dan harga dirinya sebagai wanita. Wanita tidak boleh lemer, mudah digoda oleh pria selain suami, harus berpendirian.
-          Jangan sampai menjadi satru mungwing cengklakan.
Wanita jangan sampai menjadi musuh bagi orang tua. Bila anak (gadis) tidak berhati-hati dalam bertindk ketika bergaul dengan pria, ia bisa terenggut kehormatannya. Atau pada kasus lain, ketika anak gadisnya mulai tertarik dengan lawan jenis hingga ia tidak mengindahkan perkataan orang tua. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan anak perempuan musuh bagi orang tua.
-          Seorang istri harus momot mengku hamemangkat.
Dalam rumah tangga, istri digambarkan swarga nunut neraka katut. Berdasar leksem berarti ‘surga menumpang neraka ikut’. Kalimat tersebut bermakna apabila suami mendapat untung istri pun akan merasakan keuntungan tersebut. Sebaliknya apabila suami menderita istri juga akan merasakan penderitaan tersebut. oleh karena itu, seorang istri harus momot mengu hamemangkat. Momot (memuat, menampung), berarti bahwa wanita harus mau menerima segala sesuatu yang ada pada suami dan yang diberikan oleh suami. Mengku berarti wanita harus memahami dan menerima segala kekurangan suami dengan lapang dada. Hamemangkat (mengangkat, menjunjung) berarti wanita harus menjaga nama baik suami dan keluarganya.
Ungkapan momot mengku hamemangkat hampir semakna dengan ungkapan mikul dhuwur mendhem jero.
4.    Simpulan
Ungkapan-ungkapan tradisional seperti idiom dan peribahasa kerap digunakan oleh masyarakat yang berisikan nilai-nilai moralitas, nasehat untuk tiap individunya, khususnya wanita.  Namun seringkali ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pepali atau pantangan, apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita. Dimana pepali tersebut dilihat dari gramatikalnya berterima. Namun apabila dilihat dari hubungan maknanya, sangat tidak berterima, tidak dapat dirunut penalarannya.
Namun untuk yang berbentuk peribahasa dirasa secara gramatikal berteriman dan pemaknaannya mudah. Peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 1994.  Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Widayat, Afendy dan Suwardi. Idiom Seksualitas bagi Wanita Jawa. Yogyakarta.
Wikipedia. 2011. Idiom. Available at id.wikipedia.org.
----------. 2011. Semantics. Available at en.wikipedia.org.
Wordpress. 2009. Definisi Idiom dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia. Available at wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar